![]() |
Ilustrasi (Karya Pribadi Penulis) |
Pantai Losari, di bawah langit Makassar yang kuning keemasan, ombak kecil berkejaran membawa buih ke tepi pantai, membiaskan cahaya senja. Elma menggenggam erat tanganku, sangat erat, seakan-akan tak ingin melepaskannya lagi.
“Bar, aku akan pergi besok” Ia menggenggam tanganku lebih erat. Aku melingkarkan setengah tangan ku menggenggam pundaknya. Ku belai rambutnya.
“Aku akan menyusul secepat yang aku bisa. Aku janji, percayalah padaku” Kataku menatap hamparan laut yang membiasakan cahaya matahari yang tenggelam setengahnya.
Elma mengangkat kepalanya menatapku, ku lihat matanya berkaca-kaca, lalu perlahan butir-butir air itu menetes di pipinya. Aku menyeka, tapi ia mencegah tangan ku.
“Biarkan Bara, biarkan air mata ini tumpah bersama kesedihanku.” Aku menatapnya dengan hati tersayat, mataku berkaca-kaca memandang kekasih ku. Wajahnya yang selalu ceria, matanya yang selalu berbinar dan bibirnya yang selalu menyunggingkan senyum manis seketika menghilang. Kini yang terlihat di mataku hanyalah wajah Elma yang menjadi sosok yang sangat menyedihkan hatiku.
Di tengah isaknya, ia berkata terbata-bata,
“Bar, apa kenangan paling indah yang pernah kita lalui bersama?”
“Aku selalu bahagia ketika kita berdiri di tempat ini sambil berbicara tentang segala kemungkinan tentang kita di masa mendatang”.
“Yang paling menyedihkan?”
“Ketika aku sadar bahwa satu diantara segala kemungkinan itu adalah perpisahan, dan aku takut El, sangat takut.” Aku memeluknya erat, tangisnya pecah. Aku juga.
Burung-burung terbang membentuk siluet di antara cahaya senja yang kian menghilang. Perlahan, lalu malam pun datang sepenuhnya.
Esok harinya, di pantai yang sama, aku melepas kepergian Elma.
“Bar, aku pergi. Tapi aku selalu menunggumu datang. Sampai kapanpun, aku akan menunggu.” Ia kembali berderai air mata membuatku tak kuat menahan tangis ketika ia perlahan melepaskan genggaman tangannya menaiki kapal.
Aku hanya bisa menangis, menatap Elma di galangan kapal yang terus melambaikan tangan ke arah ku. Kapal itu semakin mengecil lalu hilang dari pandangan, menjauh, membawa Elma jauh ke tengah lautan, lalu menghilang. Aku tahu, di dalam kapal yang kian menjauh itu, Elma juga menangis.
Seperti yang aku takutkan, Elma pergi. Ia pulang ke kampung halamannya di Kalimantan. Orang tua satu-satunya, ibunya sedang sakit.
Sementara disini, tekad ku lebih kuat, berkerja lebih keras, mengumpulkan uang sebanyak yang aku bisa untuk segera menyusul Elma.
Sejak kepergian Elma, aku masih setia datang ke tempat ini. Menatap matahari yang tenggelam separuh menyisakan cahaya kuning keemasan. Aku mendengar deru ombak, suara kepakan sayap burung-burung di atas laut, lembut pasir yang menenggelamkan jari-jari kaki dan tentu saja mengumpulkan puing-puing kenangan ku bersama Elma. Namun, semakin aku menikmati pantai ini, selalu saja aku merasa ada kepingan yang hilang dari hidupku. Aku tahu yang hilang itu adalah Elma.
Terasa sangat lama, satu tahun berlalu bukan waktu yang singkat untukku. Bekerja kerjas untuk meredam kesedihan, bekerja keras dengan tekad akan menyusul Elma secepatnya. Sore itu, tepat satu tahun kepergian Elma, aku masih setia datang ke pantai Losari. Kali ini aku datang dengan suasana yang berbeda. Aku menggenggam pasir lalu ku bisikkan,
“Besok, aku akan menyusul Elma, dan membawanya kesini lagi” burung-burung berkicau di atas laut Makassar, seolah mengerti perasaan hati ku kini.
***
Di kejauhan aku memandang bentangan pulau Kalimantan yang kian mendekat dan membesar. Dengan perasaan lega, aku menginjakkan kaki di tanah Kalimantan ini. Bermodal alamat yang ditinggalkan Elma padaku setahun lalu, aku menemukan rumahnya.
Dengan jantung berdegup kencang, aku berdiri di depan pintu dengan perasaan rindu yang mendesak untuk segera ku luapkan pada pertemuan ku dengan Elma. Pintu ku ketuk perlahan, tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari dalam mendekati pintu.
“Elma” kataku ketika pintu terbuka. Air mata haru dan bahagia berkumpul di pelupuk mataku. Seketika aku langsung memeluknya, berharap ia segera membalas pelukan ku. Ia tak membalas, hanya berdiri kaku dengan gestur tubuhnya seolah ingin segera melepaskan pelukan ku.
“Bara” katanya tertahan.
Aku melepaskan tubuhnya, ku pegang kedua lengannya sambil menatap matanya dalam-dalam. Ku lihat ia berkaca-kaca, tapi tak berani menatap ku.
“El. Elma. Ini kau Bara. Aku datang memenuhi janjiku. Aku datang menyusul mu.” Aku mengguncangkan tubuhnya.
“Lihat aku Elma, ini aku. Aku memenuhi janjiku.” Desak ku. Elma masih tak mau menatapku.
“Bara, terima kasih sudah memenuhi janjimu. Tapi...” ia ragu meneruskan kata-katanya.
“Apa El? Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Maaf Bar, tapi aku...” tangisannya sudah tak terbendung.
Aku diam. Membiarkan isaknya mereda.
“Aku bukan Elma yang dulu lagi bar. Maafkan aku.” Katanya terisak.
Akun diam sejenak, suasana hening.
“Aku tidak peduli El. Elma dalam kondisi dan bentuk apapun kamu, aku masih Bara yang dulu, yang selalu mencintaimu. Aku masih Bara yang setahun ini menahan rindu, bekerja yak kenal waktu untuk bisa segera menyusul mu. Aku tak peduli El apa yang terjadi padamu. Aku tetap mencintaimu.” Mataku tak lepas menatapnya meski tak sekalipun ia berani menatap ku.
“Bar, maafkan aku Bar.” Tangisnya kembali pecah. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah. Lalu keluarlah seorang laki-laki berpakaian rapi menenteng tas, sepertinya baru pulang dari kantor.
Badanku seperti membeku, kakiku tak bisa bergerak, dadaku sesak, terasa daging-daging ku seolah dilolosi paksa dari tulang-tulang ku. Meski Elma tak menjelaskan siapa laki-laki itu, aku mengerti apa yang terjadi.
Beberapa saat terpaku, aku masih tak percaya apa yang aku lihat. Aku tak percaya Elma yang dulu berjanji menunggu ku kini benar-benar kutemukan sebagai sosok yang lain. Elma. Mengapa engkau sejahat itu?
Aku menghapus air mataku. Ku tatap Elma lekat-lekat dengan penuh kekecewaan. Ku pandangi ia dari ujung kaki sampai ujung rambut, aku masih melihat wujud Elma yang sama, Elma yang menangis ketika ia melepaskan tanganku perlahan ketika tangga kapal yang memaksa kami berpisah. Aku masih melihat Elma yang dulu, yang berjanji akan menungguku sampai kapanpun. Aku masih melihat Elma yang dulu, Elma yang kubelai rambutnya ketika ia bersandar di pundakku. Tapi di saat yang sama, aku melihat laki-laki yang berdiri di sampingnya seakan menegaskan bahwa Elma yang aku lihat saat ini memang bukanlah Elma yang dulu. Elma telah tiada, menghilang, menjelma menjadi abstraksi yang hanya boleh ku simpan sebatas kenangan saja.
Aku tahu yang harus ku lakukan.
Perlahan. Meskipun berat, ku paksakan kakiku meninggalkan tempat ini. Ketika aku membalikkan badanku, sekilas ku lihat Elma hendak meraih tanganku tapi ditahan oleh laki-laki di sampingnya. Aku tak peduli.
Ku seka air mataku lalu melangkah pergi. Sepanjang perjalanan, hatiku tersayat membayangkan Elma yang telah berubah. Hatiku perih membayangkan air mata Elma yang dihapus oleh tangan laki-laki lain. Aku tak sanggup membayangkan rambut Elma dibelai oleh jari tangan orang lain.
Tapi apa boleh buat, rencana yang telah aku susun dengan matang kini hancur berkeping-keping tepat saat aku mendengar kata Elma bahwa dia bukan yang dulu lagi. Kenyataan yang mau tak mau, telah memaksa aku untuk menerimanya.
***
Dari kejauhan, ku lihat pantai yang menjadi saksi bisa bagaimana aku dan Elma di masa lampau. Pantai yang menyimpan kenangan aku dan dia. Apa boleh buat, sekarang, aku dan Elma tak lebih dari masa lalu. Catatan panjang tentang kami harus terhenti di tengah halaman yang kosong.
“Elma, maafkan aku. Aku yang salah membuat mu menunggu terlalu lama. Kesedihanku akan kepergianmu dahulu membuatku lupa bahwa bukan hanya tanganku yang bisa menggenggam mu saat kau akan terjatuh.” Aku berbisik pada pasir basah yang bisu di senja pantai Losari.
Tak mau terpuruk dalam kesedihan, aku berusaha melupakan Elma, meski ku tahu, itu adalah usaha yang akan berakhir sia-sia. Tapi tekad ku kuat, sekuat ketika aku bekerja mati-matian untuk menyusul elma.
Aku akan menikah. Ya aku akan menikah dengan teman kantorku, namanya Indri. Malam sebelum pernikahan. Ku bersihkan semua hal yang berkaitan dengan Elma. Foto, baju kaos, topi, jam tangan, sepatu, celana, semuanya ku bakar.
***
Kulihat wajah-wajah bahagia dari kerabat yang datang membawa berbagai rupa hadiah. Mengucapkan selamat atas pernikahanku dengan Indri. Tawa mereka membuat ku merasakan kembali jiwaku hidup. Pada saat yang sama, kulihat seseorang datang dengan kursi roda. Semua orang terdiam dan serentak melihat ke arah orang berkursi roda itu. Ia berhenti di hadapan ku dan Indri. Ia memberikan aku sebuah kotak kecil.
“Bar, selamat berbahagia” katanya terisak dengan butiran air yang tak berhenti jatuh dari matanya yang dulu pernah ku hapus.
Ya, orang di kursi roda itu adalah Elma. Hatiku tersayat, entah rasa sakit hati atau perasaan bahagia karena melihatnya kembali, aku tak tahu. Yang aku tahu, tangan ku ingin sekali menghapus air mata itu dan berkata “Berhentilah menangis Elma, aku disini bersamamu”, seandainya saja aku tidak langsung sadar bahwa ada tangan lain yang kini ku genggam, tangan istriku, Indri.
Suasana hening, hanya terdengar isakan tangis Elma, juga orang-orang yang tahu bagaimana kisah ku dan Elma, mereka menangis. Elma memutar kursi rodanya, tangisnya tak juga berhenti lalu perlahan menjauh dariku dan Indri, ia keluar lalu menghilang dari pandangan mataku. Meskipun hatiku menangis, aku berusaha sekuat mungkin agar butir air di ujung mataku tak tumpah, aku tak ingin Indri merasa cemburu, aku tak ingin dia sakit hati. Aku tahu rasa sakit itu seperti apa, maka aku tak ingin Indri merasakannya. Cukup aku.
Di dalam kamar. Istriku, Indri duduk di pinggir ranjang, aku masih berdiri menatap keluar jendela. Ia menghampiriku dan melekatkan sesuatu di tangan ku. Kotak kecil pemberian Elma. Aku menatapnya. Ia tersenyum padaku.
“Temui lah dia. Aku percaya kau tak akan mengkhianati ku. Aku tak ingin kau tersiksa. Aku akan menunggu disini” katanya dengan mata berkaca-kaca. Aku memeluknya erat, Sangat erat.
Entah laki-laki macam apa aku ini, disaat aku harusnya membahagiakan istriku di hari pernikahan kami, aku malah terbebani dengan memikirkan perempuan lain yang telah menghancurkan hatiku.
“Pergilah, aku akan menunggumu disini” katanya lagi.
Ku buka kotak kecil yang diberikan Elma, di dalamnya ada segenggam pasir basah, aku tahu dari mana pasir itu berasal. Berbekal izin Indri, aku keluar meninggalkan rumah. Tempat yang aku tuju tentu saja pantai kenangan aku dan Elma, Losari.
Aku tiba disana bertepatan dengan matahari yang tenggelam separuh. Kulihat siluet tubuh yang duduk di atas kursi roda menghadap laut. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tangis. Aku mendekatinya. Ia langsung menatap ke arahku. Matanya nanar dan sembab. Aku tak kuasa lagi menahan tangisku. Aku masih mencintainya, akan selalu mencintainya. Seandainya saja ia datang sesaat sebelum saksi mengatakan “SAH!” di hadapanku dan Indri, aku akan kembali bersamanya. Tapi sayang, semuanya sudah terlambat.
Dengan kata terbata-bata, Elma bercerita tentang ibunya yang sakit. Ketika ia tiba disana ibunya sudah dirawat di rumah sakit. Seorang kenalan yang merawat ibunya sebelum Elma datang, laki-laki yang datang berpakaian rapi pada saat aku di rumah Elma. Lama-kelamaan, laki-laki itu tertarik dan berniat melamarnya. Hutang budi membuat Elma tak punya kuasa menolaknya.
Aku sadar, Elma tidak berubah sedikitpun, ia dalam kondisi yang sangat sulit saat itu, kondisi dimana seharusnya aku ada untuk menopang dan membuatnya tetap kuat.
Ketika laki-laki itu mendapati aku dan Elma di depan rumah, ia terbakar cemburu dan marah ketika aku sudah pergi. Amarahnya berujung pada penganiayaannya pada Elma yang membuat kakinya kini tak bisa berjalan. Sejak saat itu pula ia memutuskan pertunangannya dengan Elma. Saat itulah Elma berniat menyusul ku, tapi dia datang sesaat setelah aku sah menjadi suami orang lain. Aku semakin terisak mendengar ceritanya.
Elma, mengapa takdir begitu kejam atas kita?
“Bar, maafkan aku” katanya lirih. Aku mengangguk keras berulang kali.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan El, aku sudah ikhlas atas semua yang telah terjadi antara kita.” Tangisku makin deras, Elma juga.
“Bar, bolehkah aku minta sesuatu? Anggaplah ini akan permintaan terakhir ku Bar.” Katanya lirih, menatapku dengan mata sayu dan sembab. Tatapan yang sangat aku rindukan.
“Iya El. Boleh” kataku.
“Bolehkah aku memelukmu terakhir kali?” katanya dengan nada yang semakin membuat hatiku tersayat. Tapi seketika aku teringat Indri, istriku yang menungguku di rumah, istri yang dengan ikhlas menahan cemburu dan sakit hatinya untuk melihatku tersenyum bahagia. Istri yang percaya bahwa aku tak akan mengkhianatinya.
Aku diam memikirkan Indri. Elma membuyarkan lamunanku.
“Tidak perlu Bar. Aku sadar kini kau sudah milik orang lain. Maafkan aku. Aku berdosa jika aku meminta seperti itu” badannya tunduk terguncang karena tangisan. “Kau bukan Bara ku lagi, kau suami orang lain, Bar.” Ia tersedu-sedu. Aku tak kuasa melihatnya. Ku beranikan membelai rambutnya yang diterbangkan angin sore. Ia mengangkat kepalanya menatapku. Matanya bengkak.
Ia menatap jauh ke matahari yang sebentar lagi tenggelam sepenuhnya.
“Kini aku mengerti hal yang dulu kau katakan, satu dari segala kemungkinan tentang kita adalah perpisahan..." Ia tertunduk sejenak, "Pulanglah Bar, istrimu menunggu.” ia menatapku, berusaha tersenyum dan terlihat tegar.
Sambil menangis, aku berlalu meninggalkan Elma, ku dengar tangisnya kembali pecah, tersedu-sedu sambil menyebut namaku di sela isaknya.
Makassar 2 Oktober 2022