Pesan Ibu dan Dinginnya Sel Polrestabes Makassar
"Laki-laki harus berdarah-darah untuk memperjuangkan apa yang dia yakini" Ibu.
Beberapa waktu yang lalu, setelah gejolak Reformasi Dikorupsi sedikit mereda, aku dan beberapa kawan-kawan harus masuk ke dalam daftar orang bernasib sial. Hari dimana hampir seluruh mahasiswa, aliansi rakyat dan berbagai badan gerakan lainnya merasakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, turun berbondong-bondong dan tumpah ruah ke jalan-jalan kota, menyuarakan apa yang ada dalam pikiran mereka untuk melawan otoritas dan kesewanangan pemerintah dalam wujud undang-undang.
Tanggal 24-26 September 2019, yang kemudian dikenal juga dengan September Berdarah ata September Hitam menjelma prasasti abadi keangkuhan dan ketidak berpihakan pemerintah yang bekerja sama dengan aparatnya untuk membungkam orang-orang yang berbicara di negara demokrasi ini.
Tanggal 26 September, hari yang tidak akan pernah aku dan kawan-kawan segenggaman tangan lupakan. Aparat yang gajinya dibayar dari uang negara dengan bebas dan leluasa meringsek hingga ke dalam kampus untuk mencari orang-orang yang terlibat dalam aksi Reformasi Dikorupsi.
Masih sangat kental dan akan selalu abadi dalam ingatanku, ketika 6 orang berseragam hitam, lengkap dengan helm, sepatu boot dan penutup muka menenteng senjata berlari ke arahku, membuat lingkaran kecil dimana akulah yang ada dipusat lingkaran itu. Serentak, tanpa komando, senjata mereka terangkat dan mengarah ketubuhku.
Aku yang masih dalam keadaan bingung dengan apa yang terjadi tak bisa berbuat apa-apa selain mengangkat tangan tanda menyerah. Salah satu dari mereka tepatnya yang berada di belakang punggung ku menendang kakiku di bagian belakang lutut, sontak aku berjongkok, ia langsung mencengkram leherku dengan ketiaknya dan menyeretku ke sebuah mobil panther. Disana aku menemukan dua orang lainnya, salah satu dari mereka sedang mengusap bibirnya yang berdarah. Ku tebak, ia baru saja mendapatkan jotosan dari orang berseragam itu. Ia hanya megangguk mengiyakan. Tak lama Kemudian, seseorang berseragam lainnya datang dan memaksaku menyerahkan handphone ku, tak hanya itu ia juga memaksa membuka kunci layar dan membaca pesan-pesan di dalam aplikasi chating pribadiku. Sebelum pergi, tak lupa ia mendaratkan telapak tangannya cepat di pipi kananku, sesaat kemudian diikuti suara umpatan nama binatang setengah berbisik dari mulutnya.
Beberapa saat berlalu, satu persatu dari kami digiring untuk dipindakan ke sebuah mobil besar tertutup yang belakangan aku ketahui bernama barakuda. Di dalam, kami ditupuk seperti karung goni yang akan diantar ke pasar. Kalau tidak salah ingat, di dalam mobil itu kami berjumlah 8 orang ditambah dua orang berseragam yang duduk di kursi menghadap kami. Sesekali mereka dengan enteng menempelkan telapak tangannya di muka kami dengan cepat dan hanya menyisakan suara renyah "PLAKKK". Lebih sialnya, dari 8 orang malang itu, aku satu-satunya yang berambut gondrong. Dengan senang dan bahagia mereka berkata "parasa-rasai itu gondrong". Jadilah aku bulan-bulanan di dalam mobil itu.
Sambil tetap menjadi bahan makanan tangan mereka berempat, kurasakan mobil bergerak meninggalkan kampus. Kata-kata kasar dan umpatan nama binatang tak berhenti keluar dari mulut mereka. Satu-persatu dari kami mendapat bagian. Telapak tangan, tinju, dan yang paling menyakitkan adalah ketika jidat atau kepala kami dipukul dengan popor senapan atau helm.
Sekitar setengan jam mobil berjalan, ku lihat darah mulai keluar dari hidung dan bibir kawan-kawan yang pecah. Tidak lama kemudian, mobil berhenti. Dalam keadaan masih linglung, kepala pening, hidung dan bibir yang perih sambil terus mengeluarkan darah, aku mencoba menerka-nerka dimana kami berada.
Yang paling menakutkan adalah ketika seorang berbisik pelan kepada ku "Kita tidak akan dibunuh kan?" Aku tak menjawab, sebab belum sempat aku mencerna baik-baik apa pertanyaannya, pikiranku langsung melayang jauh ke sebuah buku karya Leila S. Chudori, Laut Bercerita, dimana Biru Laut dan teman-temannya berakhir di dasar lautan. Terlalu lebay, tapi ketakutan itulah yang ada di dalam kepalaku saat itu.
Ketakutan itu sedikit terobati ketika pintu mobil terbuka, kami berada di tengah lapangan kecil dengan lantai paving blok, di seberang terlihat sebuah gerbang besar dengan plang bersinar diatasnya tertulis Polrestabes Makassar.
Satu-persatu kami diturunkan dari neraka berwujud mobil itu. Entah dosa apa yang telah aku lakukan atau memang dalam kalender harianku sudah tercatat bahwa itu adalah hari yang sial bagiku. Lagi-lagi karena karena aku satu-satunya yang berambut panjang, salah satu dari orang berseragam itu berkata "Kasi tinggal dulu itu gondrong". Aku tidak jadi diturunkan, orang yang berseragam tadi memanggil dua temannya yang tadi duduk di kursi kemudi untuk naik ke mobil. Sesaat sebelum pintu tertutup, ku lihat tujuh orang yang tadi satu mobil denganku berjalan jongkok dengan kedua tangan di atas kepala digiring memasuki gedung besar itu, sesekali punggung mereka mendapat hantaman sepatu jika jalannya lambat.
Pintu tertutup, lampu dalam mobil dimatikan, neraka bagiku sudah dimulai. Meski gelap, aku merasakan mata keempat orang berseragam itu menatapku. Tak lama kemudian sebuah pukulan mendarat dibelakang kepalaku. Hanya berselang sepersekian detik, pukulan lain mendarat di perutku, tulang dada, paha dan punggungku. Tanganku hanya ku fokuskan untuk melindungi bagian belakang kepalaku. Bagian tubuh lainnya ku biarkan menjadi bulan-bulanan mereka. Dalam keadaan berdiri, sebuah ujung sepatu menghantam tulang kering ku, aku ambruk seketika. Tersungkur ke depan, rasa perih dan sakit di tulang kering itu membuatku seakan tak mengingat apa-apa. Aku tak berusaha lagi melindungi tubuhku. Kaki mereka bergantian menginjak dada dan pahaku.
Sesaat kemudian, seingatku waktu itu, sekitar lima menit, salah seorang dari mereka memaksaku bangun dengan menjambak rambutku, ketika kepala ku mendongak, tiba-tiba telapak sepatu dengan gigi keras menempel di sekujur mukaku. Aku hampir hilang kesadaran jika seandainya itu bukan menjadi pukulan terakhir yang kurasakan di dalam mobil itu. kemudian terdengar suara setengah berbisik "Cukup mi, mati nanti anaknya orang".
Pintu mobil terbuka, aku berniat turun, belum sempat aku melompat sebuah kaki menghantam belakang ku yang mebuat ku tersungkur jatuh ke paving.
Seseorang yang entah dari tadi menungguku diluar mobil segera merangkul kasar lenganku dan membawaku masuk ke gedung. Di dalam aku melihat puluhan orang lainnya dengan sebagian besar mukanya dipenuhi darah. Aku disuruh duduk di bagian belakang seorang bertubuh kurus dan rambunya memanjang hingga ke pantat.
Ia tak menggunakan baju, ku lihat sekujur tubuhnya dipenuhi lebam dan luka-luka kecil yang masih mengelurkan darah. Dengan pelan ia berusaha menolehkan wajahnya ke arahku, kemudian bebisik pelan " Kau itu Ahmad?", aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, aku mengenal suara itu dengan baik, tapi aku sama sekali tidak mengenali wajahnya. Hidungnya membengkok dan masih mengeluarkan darah, ujung alinsya berdarah, mata sebelah kiri sudah tidak terlihat lagi, bibirnya biru lebam masih berdarah. Selain suara, satu-satunya yang aku kenali di wajahnya adalah kumisnya yang memang menjadi ciri khasnya.
Dengan suara kaget dan tidak percaya, aku memanggil namanya dengan nada bertanya dan sedikit ragu. Ia hanya mengangguk dan senyum tipis sambil berkata "Ujung-ujungnya kita ketemu disini." diakhiri dengan sebutan nama binatang.
Dua orang berseragam datang beberapa saat kemudian. Kami dibawa naik ke lantai dua. Kami lantas dibawa ke sebuah ruangan dimana disana terdapat dua orang perempuan dan satu orang laki-laki berpakaian dokter, di punggung mereka tertulis "DokPol". Dengan sigap mereka mengobati luka kami satu persatu. Aku dibawa ke ruangan sendiri, jauh dari orang-orang. Ku lihat, kawan yang sempat tidak aku kenali juga di bawa ke ruangan lain. aku dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan kosong. Seorang petugas datang menanyaiku beberapa pertanyaan menyangkut identitas pribadi. Ia mencatat, lalu pergi.
Hanya berselang beberapa saat, aku yang duduk di sudut ruang tanpa kursi itu melihat dua orang yang sangat familiar di mataku muncul di depan pintu kaca. Mereka adalah pejabat tinggi di kampus dan petinggi keamanan di kampusku. Aku pura-pura tak melihat mereka, tapi sudut mataku memantau gerak gerik mereka. Ku lihat mereka berbicara sambil sesekali menunjuk ke arahku membuatku berspekulasi bahwa akulah yang mereka bicarakan, terlebih samar-samar kudengar namaku dan berapa orang yang ku kenal disebut.
Sesekali petugas kesehatan datang membersihkan sisa-sisa darah yang masih menetes dari hidungku. Di dalam ruangan sempit dan kosong itu aku mondar mandir kebingungan. Pikiranku terbang jauh ke kampung halaman disambut dengan bayangan wajah ibuku. Aku hanya berharap ia tak mengetahui kondisi ku saat ini.
Dalam kebingungan itu, tepat ketika aku mendengar azan sholat isya berkumandang, seorang petugas datang memanggilku, katanya ada orang yang mencariku. Aku keluar menemui orang yang dimaksud. Rupanya seorang kawan yang tahu aku tertangkap, ia datang membawa nasi kotak. Namun saat itu, meskipun yang belum makan sejak siang, sama sekali aku tak punya hasrat untuk makan, aku hanya minta tolong dibelikan rokok menggunakan uangnya, sebab dompet dan hp ku disita, meskipun tidak disita, juga tidak ada isinya
Menjelang tengah malam aku dibawa ke ruang interogasi. Beberapa lama aku ditanya pertanyan yang sama sekali berkaitan dengan gerakan mahasiswa saat itu. Termasuk beberapa isu partai politik yang saat itu sedang memanas. Aku juga ditanya apakah aku terafiliasi dengan partai politik dan golongan tertentu. Mereka menanyakan apakah aku terlibat dalam beberapa kejadian yang mereka nilai anarkis di makassar saat itu. satu jawaban yang ku ingat saat itu "Kami demonstran pak, bukan kriminal". Ketika pertanyaan-pertanyaan semakin tidak masuk akal, aku hanya menjawab "Saya butuh pengacara pak". Setelah proses interogasi selesai, aku bertemu dengan ketua LBH Makassar saat itu. Ia berpesan untuk meminta pendampingan saat ada interogasi lanjutan.
Satu hal yang menenangkan perasaanku saat itu karena kawan-kawanku tahu aku tertangkap. Dalam pikiranku, seandainya terjadi ha-hal yang tidak ku inginkan, kawan-kawanku di luar sana tahu kemana dan pada siapa mereka harus mencariku. Satu hal lagi, untungnya aku diperbolehkan merokok dalam ruang pengap itu. Satu malam belalu tanpa sedetikpun mataku mau terpejam.
Pagi menjelang, aku masih tidak diperbolehkan keluar dari ruangan itu. Satu hari aku tak melakukan apa-apa, nasi kotak yang dibawakan teman bahkan belum ku sentuh, ditambah dengan nasi bungkus yang dibagikan, sama sekali tak ada nafsu makan.
Menjelang magrib, tak kusangka, wakil dekan 3 fakultas datang menemuiku. Ia menanyaiku berbagai hal. Ia menemaniku saat interogasi kedua. Tidak ada petanyaan menyudutkan seperti sebelumnya. Di akhir interogasi, aku akan dibebaskan dengan syarat WD3 bisa menjaminkan diriku. Sekitar jam 11 malam, aku dibebaskan, hp ku masih disita dan hanya boleh diambil seminggu kemudian.
Di depan kantor Polrestabes, aku melihat ratusan kawan-kawan dari kampusku dan berbagai kampus lainnya sedang menunggu kami di luar. Keluar dari gerbang, beberapa kawan berhamburan memberikan pelukan, sebagian aku kenali, sebagiannya lagi hanya ku kenal muka sebagian yang lainnya tak ku kenali sama sekali.
Dari mereka pula aku tahu ada dua orang kawan seperjuangan yang meninggal. Mereka adalah Randi dan Yusuf di Sulawesi Tenggara. Al-fatihah untuk mereka.
Malam itu, dan dua minggu kedepan aku menginap di rumah temanku, aku masih takut pulang ke kamar kos, sampai keadaan menjadi kondusif. Aku meminjam HP kawan untuk menelpon ibuku.
Ia menanyakkan kenapa hp ku tidak bisa dihubung. Aku berusaha untuk bebohong kalau hp ku rusak. Tapi naluri dan kasih sayang seorang ibu jauh lebih baik dari kemampuan ku berbohong. Ia bercerita selama 2 hari terakhir ia sama sekali tak bisa tidur. Ia tak tahu apa yang membuatnya gelisah, tetapi setiap kegelisahan itu datang, ia selalu teringat padaku, termasuk mimpi buruk tentangku. Itu membuatnya yakin aku sedan dalam masalah. Ia memaksaku untuk berkata jujur. Ia sangat yakin aku sedang dalam masalah tapi tak tahu masalah apa itu.
Aku kemudian menceritakan yang sejujurnya, perlahan ku dengar isak tangisnya di seberang telepon. Ia tak marah sama sekali, ia berusaha menguatkan aku dengan nasehat-nasehatnya. Yang paling aku ingat adalah ketika ia berkata dalam bahasa kampung "Begitulah seharusnya, seorang laki-laki harus berdarah-darah memperjuangkan apa yang ia yakini"
Makassar, 05 Desember 2019
2 comments
Kau akan abadi dalam ingatanku Bung, semenjak hari itu aku mengakuimu bahwa kau tampan dan pemberani betapa meresahkannya menunggumu didepan gedung biada itu π¦
BalasHapusHalo Bung. Siapapun kamu, terima kasih sudah membaca, salam literasi.
Hapus