Pendakian Gunung Bulu Saraung

By Ahmad Alfarid - Februari 02, 2024

Lautan awan Gunung Bulu Saraung 
Menutup akhir bulan Oktober 2023, saya sudah merencanakan untuk melakukan pendakian, rencananya saya akan berangkat sendiri alias solo hiking. Tujuan saya saat itu adalah Gunung Bulu Baria yang berada di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Bak gayung bersambut, tiba-tiba Faat, partner mendaki saya semasa kuliah mengabari lewat chat WhatsApp. Dia yang saat itu sedang berada di Majene, Sulawesi Barat, juga mempunyai rencana yang sama, tiba-tiba kangen mendaki gunung. Ternyata Faat tidak sendiri. kekasihnya, namanya Astrid juga ingin merencanakan ikut serta sebab ia belum pernah merasakan serunya naik gunung.

Masalah lain muncul. Sebab ini pertama kalinya Astrid mendaki gunung, rasanya agak berat kalau kami mengajaknya untuk menapaki jalur Bulu Baria yang panjang. Berdasarkan pengalaman sejauh ini, gunung yang paling, memungkinkan dan selalu saya rekomendasikan untuk para pendaki pemula adalah Gunung Bulu Saraung.

Saya pribadi sudah cukup khatam di jalur Bulu Saraung ini. Pasalnya, saya sudah mendaki gunung ini sebanyak enam kali. Juga, di gunung inilah pertama kalinya saya melakukan solo hiking atau mendaki sendirian. Pun, terkahir kali saya mendaki gunung ini sudah setahun yang lalu.

Akhirnya diputuskan kami akan mendaki di gunung Bulu Saraung. Okelah, gas tidak pake rem.

Hari Sabtu, 29 Oktober 2023. Sepulang kerja, kami bertiga, Saya, Faat, dan Astrid berkumpul di kos saya. Barang-barang kami packing ulang. Sebelum masuk waktu ashar, kami start dari Makassar ke basecamp Bulu Saraung di Balocci , Pangkep.

Tepat sebelum adzan magrib berkumandang, kami tiba di basecamp. Setelah beristirahat beberapa saat, sholat magrib di basecamp dan melakukan registrasi, kami memulai pendakian.

Seperti biasanya ketika saya mendaki bersama teman-teman saya selalu memberi nama pada kelompok pendakian kami. Dan pada saat itu, entah dari mana idenya, saya menamai kelompok kami "Trio Adventure" dengan slogan 'Adakah Seratus?!' sebuah jargon yang sedang ramai di media sosial pada saat itu. 

Perjalanan kami ke puncak normal-normal saja, sesuai harapan. Seperti pendakian malam pada umumnya. Diselimuti udara dingin, kabut yang berembun, suara-suara serangga hutan, desau angin dan gesekan antara daun-daun pepohonan, diselingi dengan cerita-cerita dari kami bertiga. 

Pukul sepuluh lewat sedikit, tiba di pos 9, post camp. Di pos camp sudah banyak pendaki lain yang sudah mendirikan tenda, hal itu membuat kami cukup kesulitan mencari tempat untuk mendirikan tenda. Tapi tidak lama kami menemukan tempat yang cukup landai dan cukup untuk mendirikan dua tenda.

Tenda sudah terpasang, makanan sudah masak. Sebelum beristirahat, kami menyempatkan minum kopi, menghisap rokok sambil bercerita random, kadang masalah pribadi, masa lalu, masa-masa indah semasa kuliah, sampai pada kehidupan asmara. Hal yang sangat saya rindukan selama ini, hal yang tidak bisa saya dapatkan ketika di kota, hal yang tidak bisa saya dapatkan ketika mendaki sendirian. Pada akhirnya saya menyadari bagaimana peranan seorang sahabat dalam hidup. Seorang teman yang bisa mendengarkan cerita cerita kita.

Pagi harinya, saya tinggal di menjaga tenda dan memasak, sementara Faat dan Astrid ke puncak gunung. Hari itu kami menghabiskan hari Minggu di pos camp. Bercanda, bercerita, foto-foto dan lainnya.

Berbincang-bincang di tenda
Menjelang sore, kami menyempatkan diri ke puncak untuk melihat senja, matahari tenggelam. Bagi sebagian pendaki, momen inilah yang paling ditunggu, momen yang sangat tepat untuk merawat jiwa-jiwa melankolis, menikmati kopi, merokok sambil mendengarkan lagu-lagu Fourtwenty, Silampukau, Payung Teduh, Nadin Amizah dan musisi musisi indie lain.
Senja di Puncak gunung Bulu Saraung 
Malam harinya, seperti pada malam sebelumnya, sebelum beristirahat, kami bercerita, bedanya malam ini lebih banyak saya yang bercerita tentang bagaimana saya ditinggal menikah oleh kekasih, bagaimana saya mencoba mencari penggantinya yang selalu berakhir nihil.

Malam semakin larut, hutan tertidur, digantikan dengan suara-suara serangga malam. Kami beristirahat.

Pukul 4 subuh, ketika kami bersiap-siap untuk summit, dua perempuan yang berdekatan dengan tenda kami minta ditunggu, akhirnya sama meminta Faat dan Astrid untuk berangkat ke puncak duluan saya yang menunggui dua orang perempuan itu.

Jalur dari pos camp ke puncak dapat ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit. Setelah sampai di puncak gunung. Beberapa saat kemudian kami disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa indahnya. Lautan awan.

Latar lautan awan dan sunrise
Belasan kali saya mendaki gunung, ini kali pertama saya mendapatkan lautan awan seindah ini.

Awan berarak dari kejauhan, dibawa oleh angin ke lereng bukit dimana kami berdiri, perlahan, dari balik bukit muncullah matahari dengan perlahan lalu bertengger diatas lautan awan yang megah. Sebuah pemandangan yang luar biasa indahnya.

Sayangnya, saya harus menyaksikan pemandangan indah ini sambil sambil menyaksikan sepasang kekasih itu menikmatinya bersama di saat saya sedang jomblo jomblonya. Hiks.

Sial, saya diketawain


Berkali-kali saya berdecak kagum, keindahannya tidak dapat saya lukiskan dalam tulisan ini. Ini kali ke tujuh saya ke gunung ini, dan ini pertama kalinya saya menyaksikan lautan awan.

Kami mengabadikan momen momen indah itu dengan foto. Untungnya, Astrid memiliki camera handphone yang bagus. Jadinya kesempatan itu dapat kami abadikan dengan baik.

Setelah menikmati indahnya puncak gunung Bulu, kami memutuskan untuk pulang.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments