KETIKA BAPAK BERPULANG

By Ahmad Alfarid - September 18, 2025

     


Dari jendela pesawat, kulihat kota Manado dengan garis pantainya yang indah kini tampak suram tak berarti, samar-samar, mengecil lalu perlahan-lahan menghilang sepenuhnya di balik awan. Yang tampak olehku hanyalah awan putih yang berubah menjadi muram serta sayap pesawat yang berjuang melawan arus angin, membawaku menuju tempat yang paling kurindukan sekaligus menakutkan (untuk saat ini dan barangkali seterusnya), pulang. Kepulangan yang sungguh tidak aku harapkan.

        Aku teringat sebuah lirik lagu "Tempat ibadah dan gerbong kereta api, kini terlihat sama bagiku", aku tidak tahu apa konteks di baliknya, tapi lirik itu tampaknya mengenai diriku saat ini. Tidak hanya di tempat ibadah di atas sajadah, di setiap sudut sepanjang perjalananku kini, jalan raya, bandara, ruang tunggu, hingga di dalam kabin pesawat, tak ada bedanya, aku hanya melakukan satu hal yang sama, berdoa. Doa yang barangkali adalah doa terkhusyuk yang pernah aku lantunkan sepanjang hidupku sejauh ini, "Ya Allah, sang pemilik segala kehendak. Izinkan aku melihat jasad bapakku terakhir kali".

        Disambut rintik hujan. Aku turun dari pesawat, menginjakkan kaki di kota Makassar dengan berat, aku berjalan cepat menuju pintu keluar bandara. Tak ada barang barang bawaan, hanya sepasang pakaian di dalam tas, sepasang lagi menempel di badan, bahkan memakai sepatu pun aku tidak ingat lagi, aku hanya memakai sendal jepit berdebu dan beda ukuran. Di pintu kedatangan aku dijemput seorang kawan senior yang rela direpotkan (terima kasih), ia mengantarku keluar bandara dan menunggu mobil tumpangan di pinggir jalan.

    Aku harus tiba di rumah sebelum pukul 5 sore, jadwal paling akhir pemakaman yang direncanakan. Sebelum berangkat aku meminta pada para kerabat yang mengurusi jenazah bapak untuk ditunggu jika memungkinkan. Berpacu dengan waktu, dari terminal ke terminal lain, turun dari mobil dan pindah ke mobil lain tanpa jeda. Aku terus melihat jam tangan, rasanya waktu berlalu sangat cepat, satu menit sangatlah berharga. "Izinkan aku melihat bapak terakhir kali", kata itu kurapal berkali-kali meski tak terucap. 

    Di terminal terakhir, kurang beberapa menit lagi pukul 5. Masih butuh waktu 2 jam untuk sampai ke kampung. Sembari melihat jam tangan, kubayangkan saat inilah jenazah bapak dimasukkan ke dalam liang lahat. Harapan ku pupus, tak ada lagi yang bisa kulakukan, berdoa pun rasanya sudah tak berarti lagi, aku pasrah. Bagaimana keadaan ibu, apakah dia kuat melepas kepergian bapak? Ingin sekali aku berada disampingnya, menopang dirinya saat tak berdaya. Aku mengutuk diriku yang kaku tak bisa berbuat apa-apa. Di salah satu kaca jendela mobil yang terparkir kulihat wajahku dengan mata merah sembab, disertai air mata yang masih terus berlinang tanpa kusadari.

      Dari kejauhan kulihat seorang sepupu yang datang menjemput ku dengan motor. Rintik hujan tak kunjung berhenti. Hawa dingin mulai terasa ditambah dengan motor yang melaju kencang meliuk-liuk melewati kelokan jalan beton yang separuhnya sudah hancur menjadi kerikil, membelah perkampungan, hutan, dan rintik hujan.

        "Barangkali, memang aku tidak ditakdirkan untuk bertemu bapak". Pasrah ku dalam hati.

       Aku harus memuji keahlian sepupuku ini memacu motor di jalan licin, berlumpur dan berbatu. Beberapa kali ban motor mengalami slip, hampir saja terjatuh jika dia tidak cekatan dan tangkas. Dengan usaha sekuat tenaga, motor dipacu dengan paksa, akhirnya kami memasuki kampung sebelum pukul 6. Perjalanan yang harusnya ditempuh 2 jam hanya kami tempuh dalam satu jam saja.

      Matahari sudah tepat di ufuk barat, hampir tenggelam sepenuhnya. Serangga malam mulai berbunyi, rintik hujan sudah berhenti. Dari kejauhan, kulihat rumahku dengan aura yang sangat berbeda. Asap putih mengepul dari dapur darurat, tenda terpasang di halaman, kayu bakar hasil gotong royong dari para tetangga menggunung di halaman ruman, tampak juga berapa potong bambu yang masih segar, sesuatu yang sangat akrab dengan rumah duka (di kampungku, keranda dibuat dari bambu, hanya sekali pakai). Ratusan orang mengerumuni rumah hingga ke jalan, aku tak sempat memperhatikan mereka. Begitu motor berhenti, aku turun dan berjalan cepat menuju pintu, kerumunan orang memisah, memberiku jalan. Suasana hening, tak ada orang yang bersuara, semua orang memandang ke arahku dalam diam.

       Tidak ku pedulikan apapun, mengucap terima kasih pada sepupu yang sudah berjuang membawaku pun aku tak ingat lagi. Yang ada dalam kepalaku adalah aku ingin segera melihat bapak, disertai sebuah tanda tanya dan kekhawatiran besar, apakah jasad bapak masih ada di dalam rumah?

     Dalam keheningan itu akhirnya ku temukan jawaban ketika seseorang yang sangat aku kenal setengah berlari dari dalam rumah menyambut ku, Ibu. Ia mencium ku, lalu memelukku dengan erat dan hangat. Pelukan dan kehangatan yang sangat ku rindukan.

    "Sini nak, sapa bapakmu" katanya di sela isak tangis, terdengar nada suaranya bergetar. Dengan lembut ia menuntunku masuk rumah.

      Begitu aku menginjakkan kaki melewati pintu, aku merasakan sesuatu  yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku tidak tahu seperti apa, aku benar-benar serasa melayang jauh, entah dimana aku tak tahu, kakiku tidak terasa menginjak apapun, tubuhku tak merasakan apa-apa, kepalaku kosong. Sekelilingku tampak kabur seperti fatamorgana, tidak ada gambaran yang terlihat nyata. Semuanya tampak samar, bergerak, berkedip tak menentu seperti dikerubungi ribuan semut tembus pandang yang bergerak statis.

        Yang kulihat jelas hanyalah sesosok tubuh yang terbujur kaku, terbungkus kain kafan dari ujung kepala sampai ujung kaki, wajahnya pun tak kelihatan, tapi aku tahu, itu jasad bapakku. Ia terbaring diam membisu, tapi dalam kebisuan itu, aku seperti merasakan dia seakan tersenyum dan berkata "Ahh kamu lama sekali di jalan, aku hampir saja pergi tanpa kau lihat."

        Sejenak terbayang ketika masih SMA hingga aku kuliah. Setiap kali aku pulang, aku langsung memanggil namanya seperti memanggil nama teman sepermainan untuk mengajak pergi bermain, "Oi Puneng", itu nama bapakku. Jika kebetulan ia ada di ruman, ia akan bersembunyi di balik pintu,  mengagetkanku atau berusaha memegang "anu"ku, tapi triknya itu sudah ku hapal, jadi sebelum masuk aku sudah mengambil ancang-ancang siap tempur lalu terjadilah pergelutan di ruang tamu. Jika pukulannya berhasil mengenai tubuhku atau berhasil memegang "anu"ku, ia akan tertawa bangga dan mengejek, mengangkat satu jarinya sambil berkata "satu kosong". Hutang pukulan itu hanya boleh ku balas di pergelutan pada kepulanganku selanjutnya. Hingga kini, aku sudah lupa berapa utang pukulan darinya yang belum ku balas. Ibu akan muncul dari dapur dan bilang kami berdua seperti anak kecil yan berkelahi berebut layangan.

       Pernah suatu sore, ia sedang menunggu kepulanganku. Ketika mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah, ia langsung menuju belakang pintu untuk bersembunyi. Ketika pintu terbuka dengan sigap ia memegang "anu" orang itu, sialnya orang itu bukan aku, melainkan seorang tamu yang berkunjung ke rumah. Bapak mau tidak mau harus menjelaskan kebiasannya menyambutku seperti itu untuk mencairkan suasana yang kikuk di ruang tamu. Aku tertawa ketika bapak menceritakan peristiwa itu.

        Kenangan itu menguap. Bapak yang dulu menyambutku dengan gelutan itu tidak ada lagi. Berganti dengan sosok jenazah yang kini terbaring kaku tak berdaya di ruang tamu. Aku berusaha menguasai diri, ini nyata. Kain kafan, orang-orang melayat, ibu yang menangis, semuanya nyata, bukan sekadar bayangan semu yang bisa diabaikan hanya dengan mencubiti kulit. Bapak benar-benar sudah tidak ada. 

       Tangan, kaki, lutut serta sekujur badanku bergetar. Aku bersimpuh, lebih tepatnya tersungkur di sampingnya. Kupeluk tubuh itu erat-erat, kucium dari kepala sampai kaki. Tubuhku yang seakan mati rasa perlahan-lahan merasakan dinginnya jasad bapak dibalik balutan kain kafan. Tidak kupedulikan orang-orang di sekeliling, aku menangis.

        Tidak lama kemudian ibu datang memelukku, memberitahuku dengan lembut bahwa jasad bapak akan dibawa ke masjid untuk dishalatkan. Bersamaan dengan itu, lantunkan azan magrib dari masjid terdengar.

         Ketika aku bangkit, tampak olehku pemandangan tak kalah menyedihkan, mengiris-iris hatiku. Kedua adikku, serta kakakku berdiri di sampingku dengan air mata yang tak berhenti. Aku memeluk mereka. Satu hal yang terbesit dalam hatiku saat itu, sekarang kita berempat sudah jadi anak yatim.

        Usai sholat magrib, bapak dishalati. Wahyu, adik bungsuku menjadi imam, sebab secara ilmu agama (barangkali dalam semua hal), ia lebih baik daripada aku.

        Sepanjang sholat aku berusaha untuk khusyuk. Namun, begitu aku menyadari sosok yang terbaring di depanku itu adalah bapak, air mataku tumpah. Dulu waktu masih hidup dan sehat, ia selalu berada di depan, memimpin sholat. Kini, ia masih di depan, tapi bukan sebagai imam.

        Usai dishalati, malam benar-benar sudah tiba. Dengan penerangan senter kami menggotong keranda berisi jasad bapak kuburan. Dalam hati, aku merasa bersalah, seandainya bukan aku yang ditunggu, pemakaman bapak seharusnya sudah selesai siang tadi.

        Di sekeliling kampung terlihat awan hitam, namun tepat di atas kepala kami langit tampak cerah. Tepat ketika kami tiba di kuburan, secara ajaib, bulan perlahan-lahan muncul, meskipun tidak secerah bulan purnama, cahayanya cukup membantu menerangi prosesi pemakaman bapak. Aku masuk ke dalam galian kuburan untuk memasukkan jasad bapak. 

        Begitu menerima jasad bapak kedalam pangkuanku, terbayang seluruh jasa-jasanya buatku, buat ibu, buat kakak dan adikku. Segala nasehat, ajaran, saran, kata-kata yang pernah ia sampaikan berputar dalam kepalaku.

        Ya, tubuh bapakku, tubuh yang kini terbujur tanpa daya dalam pangkuanku di dalam kuburan yang akan segera ditimbun inilah yang telah mengerahkan segala upayanya agar aku bisa makan, bisa tidur nyenyak, bisa memakai baju, celana, sendal, sepatu, bisa beli mainan, bisa minum susu, bisa sekolah hingga sarjana, dan bisa hidup. Mulutnya yang tertutup rapat inilah yang tidak pernah sekalipun kudengar mengatakan "bapak sayang kamu nak" tapi diam-diam ia bangun di tengah malam mendoakan agar jalan hidupku dimudahkan, diam-diam menyebut namaku beruang-ulang dalam doanya agar menjadi manusia yang baik, diam-diam menanyakan kabarku pada ibu, mengajari kami membaca buku dan menulis, membaca alquran, mengajarkan doa-doa, mengajari tata cara sholat dan tata krama dalam bertingkah laku.

        Bagaimana perasaanku tidak hancur, memangku tubuh yang dingin ini sembari mengingat bagaimana nafasnya tersengal-sengal menggendong aku ketika sakit, bagaimana tubuh yang ringkih ini dulunya begitu kuat menggarap sawah dan kebun agar kami tidak kelaparan, kulitnya yang dingin ini dulunya adalah kulit yang tidak kenal hujan dan panas sengatan matahari ketika mencari nafkah untuk kami.

        Bapak adalah manusia biasa yang hanya diberikan kesempatan hidup satu kali. Kesempatan satu kali itu tidak digunakan untuk dirinya sendiri. Ia rela membuang semuanya hanya demi memastikan kami semua hidup dengan layak.

       Aku masih ingin memeluknya erat-erat ketika petugas fardu kifayah memberi isyarat agar jasad bapak dimasukkan ke dalam liang. Sangat berat rasanya ingin melepaskan tubuh itu kedalam liang yang dingin, lembab dan sempit. Namun harus di lakukan.

        Ketika tali kafan dibuka, saat itulah aku melihat wajah bapak secara langsung setelah sekian lama dan untuk yang terakhir kalinya, benar-benar yang terakhir. Wajahnya yang teduh dan tanpa beban, terlihat sebaris senyum titip dengan mata yang terpejam, tapi dalam keadaan yang membisu. Aku menatapnya lekat-lekat. 

        Dalam kebisuannya itu, wajahnya seakan berkata padaku "Tugasku di dunia ini sudah selesai. Ku titipkan padamu, jaga ibu, kakak dan adik-adikmu". 

        Sebelum wajahnya dipalingkan menghadap tanah, aku bersaksi, "Ya Allah, ia telah merampungkan tugasnya di dunia dengan baik. Ia mendidik kami, mengajari kami kebaikan dengan segenap kemampuan dan usaha yang ia bisa. Jika kami berbuat salah semata-mata karena kelalaian dan atas nafsu kami. Aku bersaksi, ia telah menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sebagai laki-laki, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai manusia, sebagai hamba-Mu. Perkenankanlah dia berada di tempat terbaik di sisi Mu"

      Perlahan-lahan wajahnya dipalingkan menghadap tanah yang dingin dan lembab, wajahnya menghilang seluruhnya. Itulah terakhir kali aku melihatnya. Rasanya aku ingin berteriak, terlebih ketika papan satu persatu menutupinya di dalam liang. Di sela-sela papan hanya samar-sama terlihat warna putih kain kafan yang juga segera sirna tertutup tanah timbunan yang perlahan-lahan diuruk kebawah, menutupi papan, semakin lama semakin tinggi lalu lubang itu tertutup sepenuhnya berganti rupa menjadi gundukan tanah dengan sebuah batu nisan tertancap di atasnya bertuliskan nama bapak. Sebuah pemandangan yang sangat menyakitkan. Setelah mendoakan bapak, orang-orang pulang satu persatu, termasuk aku. 

    Ku lihat Wahyu, adikku masih meratap di samping kuburan bapak, aku memanggilnya untuk pulang. Saat itu aku menyadari, bukan hanya aku yang berduka, barangkali kesedihannya jauh lebih dalam, aku tidak tahu. Selama beberapa lama dirinyalah yang selalu ada di samping bapak selama kami tidak ada di rumah. Maafkan aku dik.

    Dalam perjalan pulang, punggungku terasa lebih berat. Sebagai anak laki-laki pertama, barangkali dan memang semestinya akulah yang paling bertanggung jawab dalam keluarga setelah ini. Ketakutan dan kekhawatiran muncul satu persatu, bertumpuk seperti bola salju membesar seiring waktu. Pikiranku berputar, mengkalkulasi segala variabel dan kemungkinan, menimbang ini dan itu, lalu disimpulkan dalam satu pertanyaan besar "Bagaimana setelah hari ini?"

        "Ahh bapak, anakmu belum siap memikul beban seberat ini. Kau tahu, aku tak sekuat dirimu"

        Namun bagaimanapun, semuanya mesti tetap dijalani, siap atau tidak. Sebenarnya, tidak pernah ada kata "siap" untuk setiap kehilangan. Terlebih ketika itu melibatkan orang yang dicintai, orang yang jadi sandaran hidup, tempat mengadu dan berkeluh kesah.

        Ketika tiba di rumah, kulihat wajah ibu yang berusaha tegar. Ia berusaha tetap memasang senyum di wajahnya di hadapan kerabat yang datang melayat dan membantu.

        Sesakit-sakitnya aku, kakak dan adik-adik, ibulah orang yang paling sakit dan terpukul. Dialah orang yang paling berduka atas kehilangan bapak diantara siapapun. Dia kehilangan teman hidup, cinta dan sandaran hidupnya. Meski kami akan berusaha untuk membahagiakannya, kebahagian bersama bapak tak akan ada gantinya.

        Hari-hari selanjutnya tak kalah beratnya. Kesedihan ditinggal bapak bertambah ketika sewaktu-waktu mendengar ibu menangis diam-diam. Segala hal yang berhubungan dengan bapak membuatnya sedih lalu menangis. Kamar, pakaian, sajadah, tasbih, peci, gelas dan piring atau suara adzan dari masjid selalu mengingatkan ibu pada bapak. Dalam tangisnya, ia selalu menceritakan semua kebaikan bapak sembari mengingat-ingat apakah dirinya pernah berbuat salah pada bapak.

        Aku hanya meminta pada kakak dan adikku untuk tidak melarang ibu menangis. Kami biarkan ibu menumpahkan kesedihannya lewat air mata dan apapun yang bisa mengobati dukanya. Tidak ada siapapun yang berhak mengajarkan siapapun yang lain bagaimana caranya berduka, termasuk kami untuk ibu. Ketika hal itu tiba, yang bisa kami lakukan adalah berkerumun dan memeluknya, memberi isyarat bahwa kami semua ada untuknya. Membiarkan ibu menangis, tidak perlu ada saran atau sekadar ucapan "sabar". Ibu sedang berduka, ia berduka lebih dari siapapun atas kepergian bapak.

        Hari-hari cutiku semakin mendekati batasnya. Entah aku ini sok dewasa atau bagaimana, namun aku merasa hal ini semestinya kulakukan sebelum pulang ke tanah rantau. Di malam yang sunyi setelah kepergian bapak, aku berbicara dengan adikku Wahyu. Bicara dari hati ke hati, bicara sebagai kakak adik, bicara sebagai sesama laki-laki dalam keluarga.

        Banyak hal yang kami perbincangkan, meskipun sebenarnya aku lebih banyak bicara, aku tidak tahu apakah adikku jengkel mendengar ku bicara hampir sepanjang malam atau bagaimana, semoga tidak. 

        Aku sudah lupa semua yang ku bicarakan, sebagian besarnya  berupa nasehat yang sebenarnya belum pantas keluar dari mulutku. Satu hal yang aku ingat dan aku berharap adikku juga ingat "Diri kita hari ini, keluarga kita hari ini tidak sama lagi dengan minggu lalu (ketika bapak masih ada)". Aku tidak tahu bagaimana kalimat itu bisa keluar dari mulutku. Ketika bapak masih ada, meskipun dalam keadaan sakit, hatiku bisa tetap tenang karena naluri berkata "ada bapak'. Kini, masalah apapun, harus dilalui sendiri.

        Hari itu tiba, aku harus pulang. Kami sekeluarga mengunjugi makam bapak, membacakan doa, surah Yasin dan beberapa surah lain. Secara pribadi aku pamit. Aku akan pulang ke perantauan.

        Meninggalkan rumah kali ini jauh lebih berat daripada sebelum-sebelumnya. Aku tidak tega meninggalkan ibu dalam kesedihan yang tak terkira, namun mesti kulakukan. Aku memeluknya dengan sangat lama, mencium tangannya, meminta doa dan restu.

           Aku teringat nasehat seorang kawan, "Fokuslah membahagiakan yang masih ada".

        Sepanjang perjalanan, dibalik kesedihan aku menyadari satu hal, terutama soal kepergian bapak. Kesedihan kami sebenarnya hanya untuk diri kami sendiri. Secara pribadi, bapak sudah mencapai cita-citanya. Beberapa hari setelah kepergiannya, aku bertanya pada kakak dan adik perempuanku soal keadaannya sebelum meninggal dunia. Semua kondisi yang ia jelaskan adalah ciri-ciri yang kami yakini sebagai kematian yang baik, tidak ada yang perlu disesali darinya.

        Semasa masih sehat, bapak pernah berkata bahwa dirinya ingin meninggal ketika dia sudah tidak bisa merawat dirinya sendiri (dia tidak ingin merepotkan siapapun, bahkan untuk anaknya sendiri). Ia juga pernah berpesan agar sebisa mungkin agar jenazahnya dimandikan dan dishalati oleh anak-anaknya. Semuanya terkabul.

        Bapak adalah orang yang beruntung. Ia meninggal dalam keadaan yang ia inginkan. Namun bagi kami, dan bagi semua orang, kematian keluarga dan kerabat bukanlah hal yang diinginkan, sebaik apapun kondisinya.

Ah, bapak. Sudah 3 bulan kepergianmu.

Kami semua rindu

Anak-anakmu.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments