Lintang Kemukus Bertahta di Langit Manado

By Ahmad Alfarid - Februari 14, 2025

Lintang Kemukus

Kota Manado diguyur hujan akhir tahun ini. Kabut dan embun tak berhenti menyelimuti kota, awan mendung senantiasa bertengger di atas kepala. Jangan berharap banyak bisa menatap indahnya bulan malam atau kelip bintang. Semuanya tampak mustahil akhir-akhir ini. Lintang kemukus memutus kemustahilan itu.

Bintang jatuh, begitu masyarakat umum menyebutnya. Sebagian yang lain menyebutnya komet. Tapi entah mengapa, aku lebih suka menyebutnya lintang kemukus. Sebuah diksi yang agak asing dan jadul, tapi di telingaku kata ini terdengar begitu sastrawi nan puitis. Kali ini, takdir membawanya dalam wujud yang lain.

Sore akhir pekan, seperti biasa selepas bekerja aku menyempatkan waktu singgah di kedai kopi kecil ini, sekadar untuk melepas lelah dari tumpukan masalah di kantor. Kali ini cukup berbeda, dengan sedikit sunggingan senyum melihat sebuah kertas surat bertanda tangan atasanku. Ya, setelah tiga bulan, akhirnya permintaan cuti ku diterima juga.

Aku membuka buku catatan bersampul kulit sintetik hitam dengan kertas buram yang selalu sukses membuatku berkhayal mungkin seperti ini penampakan buku catatan dimana romansa-tragedi Romeo Juliet ditulis oleh William Shakespeare pertama kali. Buku catatan ini ku gunakan untuk mencatat hal-hal yang ku anggap privasi, luapan pikiran dan rencana-rencana, termasuk gunung dimana aku akan menghabiskan jatah cutiku, Rinjani. Nama gunung tercantik itu terpampang jelas di list pertama gunung yang ingin aku daki tahun ini. Membaca nama itu secara naluriah membuatku membayangkan syahdunya senja di Pelawangan Sembalun, renyah suara riak air dan segarnya angin pagi di tepian danau Sagara Anak, dan tentu saja kemegahan kaldera dipandangi dari tahta Dewi Anjani.

Kedai ini terlalu kecil untuk kualitasnya, terlalu banyak pengunjung hingga hanya dalam hitungan beberapa waktu saja kursi dan meja habis terpakai. Saat itulah aku melihatnya. Ya, Lintang Kemukus.

Sore itu hujan turun lagi. Di luar, ku lihat sebuah taksi online baru saja tiba. Tak lama keluarlah seorang perempuan dengan ransel cukup besar. Tak ingin kebasahan, ia langsung masuk ke kedai kopi ini namun seketika terhenti beberapa saat tepat di depan pintu begitu menyadari semua kursi sudah terpakai. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh badan kedai. 

        Aku yang saat itu hanya duduk sendiri, di mejaku tersisa satu dan satu-satunya kursi yang kosong di kedai kopi ini. Aku sempat ingin menawarinya, tapi ragu. Tak disangka ia melambaikan tangan, seakan bertanya apakah boleh dia duduk di tempatku. Sialnya, aku mengiyakan.
"Terima kasih." Katanya dengan nafas masih setengah terburu. Dia duduk dan memeriksa gawainya. Beberapa saat kemudian raut wajahnya berubah, yang tadinya kelelahan menjadi panik dan tak bersemangat, dengan sedikit ekspresi kecewa.
     Aku membolak-balik halaman buku catatan, sekadar agar terlihat sibuk dan tak menganggu kenyamanannya.

     "Aduh, parah sih ini anak." Gumam nya dengan nada jengkel. 

     Sumpah, aku tidak berniat menguping, tapi ia duduk tepat di depanku hanya dibatasi satu meja. Bahkan suara nafas dan ketikan keyboard di layar gawainya terdengar jelas. 

    Ia menghela nafas panjang dan merebahkan diri di kursi. Diam sejenak sembari menatap langit-langit, lantas bangkit. Ia mencondongkan badan dan mengulurkan tangan ke arahku.

     "Namaku Lintang, Lintang Kemukus." Ia memperkenalkan diri.

     "Intan?" Aku mencondongkan telinga, memastikan pendengaranku.

     "Lintang, L-I-N-T-A-N-G, Kemukus" Ia mengeja namanya sambil terkekeh.

     "Lintang... Kemukus?" Aku memastikan sekali lagi. Ia mengangguk. "Maaf, aku pikir salah dengar." Aku menjadikan suara berisik hujan di atap sebagai alasan.

     "Tidak masalah, itu reaksi lazim setiap kali aku berkenalan dengan orang baru."

     ''Semar," aku memperkenalkan nama, "Lengkapnya, Semar Hitam."

"Semar, Hitam?" Aku menangkap mimik keheranan disertai sebaris senyum yang berusaha tertahan di wajahnya.

     "Ya, kamu tidak salah dengar, itu reaksi lazim setiap kali aku berkenalan dengan orang baru." Aku mengutip kata-katanya.

     "Nama kamu unik, aneh." Katanya kemudian. Baris senyum yang ia tahan sejak mendengar namaku kini dibiarkan lepas menjadi tawa kecil.

     "Nama kamu juga, aneh dan unik." Balasku sambil tertawa.

     Kami, aku dan Lintang menertawakan nama aneh sambil menerka motivasi seperti apa yang mendorong orang tua kami memberikan nama itu.

     Meskipun sedikit tidak sopan, aku menanyakan tujuannya ke kota ini. Aku tahu, ia bukan orang Manado.

     Lintang bercerita tentang rencana liburan bersama temannya di kota Manado. Mereka berdua janjian akan bertemu di tempat ini, tapi ia baru saja mendapat kabar dari temannya yang tidak jadi datang, sialnya pesan itu dikirimkan setelah ia di pesawat dan terbaca saat ia sudah tiba. Dari nada bicaranya aku tahu betul dia jengkel. Aku tak berani menanyakan lebih jauh alasan temannya batal datang.

     "Aku lagi mencari guide yang bisa menemani aku mendatangi beberapa tempat di kota ini."

     Hening sejenak, hanya terdengar perbincangan para pengunjung dengan latar belakang lagu "Istrahat" milik Nosstress yang mengalun samar-samar.

     "Mungkin aku bisa." Kataku beberapa saat kemudian. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menawarkan diri. Entah, sorot matanya yang hitam bulat se syahdu matahari tenggelam di Pelawangan Sembalun atau nada bicaranya yang terdengar semerdu riak air Sagara Anak, mungkin juga kenekatan yang ia miliki seperti terjalnya jalur Torean. Aku tak mengerti sihir macam apa yang membuatku melupakan Rinjani. 

    Aku dan Lintang membuat janji esok hari. Hujan mereda, jingga matahari sore berganti dengan lampu-lampu, jalan basah kota Manado mengantar kami ke tempat istrahat masing-masing. Aku kembali ke kontrakan, Lintang menuju penginapan yang sudah ia pesan sebelumnya.

    Pagi-pagi, Lintang menungguku tidak jauh dari kedai kopi dimana kami bertemu kemarin sore. Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari sarapan, nasi kuning pinggir jalan dengan abon ikan dan sambel yang pedasnya yang sangat menyiksa diriku.

        "Cupu." kata Lintang mengejek ketika aku tidak memesan sambel. Gengsi, ku tuang dua sendok sambel berwarna merah bergenang minyak panas ke kertas nasiku. Ia tertawa melihat wajahku memerah bercucuran keringat.

     "Jangan dipaksa, setiap orang tidak harus suka pedas, semuanya punya kesukaan dan ketidaksukaan sendiri" kata Lintang.

     Suapan terakhir sukses membuatku berlari kecil warung terdekat mencari air es. Sebotol air mineral dingin tak kuasa menawarkan pedasnya. Ku ambil sebatang rokok, nikmatnya luar biasa.

     "List pertama?" Aku menanyakan tempat yang ingin ia kunjungi. Ia membuka catatan kecilnya.

     "Pasar ekstrim Tomohon?" Lintang menatap ku, seakan meminta persetujuan.

     Gas!!!

     Motorku membelah jalanan berkelok menuju kota Tomohon. Hijau hutan sedap memanjakan pandangan mata, udara dingin memaksaku merekatkan jaket. Sesekali Lintang meminta berhenti untuk menangkap gambar.

     "Itu apa?" Lintang bertanya saat melihat penjual minuman berwarna putih pucat di pinggiran jalan.

     "Itu saguer, air nira yang disadap dari pohon enau, kelapa dan beberapa pohon jenis palem. Umunya rasanya manis, tapi di Sulawesi Utara, minuman ini biasa difermentasi menjadi minuman beralkohol, namanya Cap Tikus."

     "Cobain yuk!" Ajaknya.

     "Apa? Cap tikus?"

     "Bukan. Yang manis itu, non alkohol"

     Kami berhenti di salah satu penjual saguer.

     "Emmmm, segar." Kata Lintang di sela-sela tegukannya.

     Aku dan Lintang berkeliling hampir dua jam di Pasar Tomohon. Baik aku maupun Lintang sama-sama takjub melihat aneka dagangan di pasar ini. Hewan-hewan yang belum pernah kami lihat sebelumnya diperjual belikan, semuanya ada disini. Lintang beberapa kali mual karena aroma amis. Hal yang wajar, pertama kali ke tempat ini, aku juga merasakan hal yang sama.

     Lepas dari pasar Tomohon, kami ke danau Linow, danau vulkanik yang masih aktif mengeluarkan gas asap solfatar di kedalaman maupun tepian danaunya. Bias asapnya membuat aliran air panas yang jernih terlihat hijau kadang menjadi kebiru-biruan.

     Lintang memotret, mengabadikan momen dari berbagai sudut, sesekali meminta aku memotretnya, atau mengajakku berfoto bersama.

     Dalam kacamataku, Lintang perempuan yang aktif, meskipun ku lihat wajanya sudah merah kepanasan, ia tidak berhenti sampai ia merasa puas. Aku mengamatinya dari kejauhan, sengaja memberikan ruang yang cukup baginya untuk mendapatkan kepuasan liburan yang ia harapkan.

     Bukit Tulangkow, Pagoda Ekayana, Bukit Doa Mahawu, Puncak Kai Santi, Bukit Pelangi di kaki gunung Lokon, dan air terjun Kali kami jajal dalam sehari penuh.

     "Tomohon, done" Lintang mencoret tanda centang besar di halaman bukunya. Nafasnya tersengal memburu, kontras dengan wajah puasnya ketika kami berhenti di sebuah warung makan sebelum pulang.

     Hari kedua, Lintang tidak lagi melihat buku catatan kecil nya.

     "Kemana saja yang menurutmu bagus." Katanya padaku.

     Hari-hari selanjutnya kami habiskan mengunjungi Batu Putih, Batu Angus, Penangkaran Tarsius, Pulau Lembe, Makam Imam Bonjol, makam prasejarah Waruga Sawangan, Gua Jepang, Bunaken, Gunung Paralayang, Manado Tua, Tondano, Kotamobagu, Modisi, hingga pantai Molosipat di ujung selatan perbatasan Sulawesi Utara-Gorontalo.

     Selama ini, aku tidak terlalu tertarik dengan wisata-wisata semacam itu. Satu-satunya tempat wisataku adalah puncak gunung. Ini berbeda, aku merasakan ada hal seru selama lima hari ini. Aku sangat menikmatinya, mendalami peranku sebagai pemandu cukup membawa kesan yang baru. Meskipun tidak cocok dikatakan sebagai pemandu karena kebanyakan dari tempat yang kami kunjungi baru aku datangi waktu itu juga.

     Lima hari berlalu dengan segala kesan dan kenangannya. Lintang berencana pulang esok hari. Sisa cutinya akan digunakan untuk beristirahat. Hal yang berbeda denganku, aku baru membuat ulang jadwal. Jatah cutiku seakan menguap seperti asap, tidak berasa jika tidak ku gunakan mendaki gunung. Dua hari tersisa, rasanya mustahil ke Rinjani, yang penting naik gunung. Akhirnya ku putuskan ke gunung Klabat, gunung tertinggi di Sulawesi Utara.

     Usai menuntaskan destinasi terakhir Lintang, Hutan mangrove di ujung pantai desa Modisi. Kami bergegas pulang, meninggalkan pantai Modisi yang jingga kemerahan saat matahari tenggelam separuh.

     Di perjalanan, aku menghubungi Bang Bang Joy, pemilik rental alat-alat pendakian langgananku untuk menyewa kembali peralatan yang sempat aku batalkan minggu lalu. Bang Joy dan istrinya menyambut ku dan Lintang. Sementara aku dan Bang Joy mengambil alat, Lintang dan istri Bang Joy asik bercengkrama. Semua yang kubutuhkan masih tersedia. Beres, aku dan Lintang pamit.

     Hampir tengah malam, jalanan mulai sepi, hening malam hanya menyisakan suara knalpot motor, udara terasa semakin dingin. Sepanjang perjalanan aku berharap malam ini turun hujan, agar hari esok cerah ketika aku mendaki gunung. Sialnya, harapanku terkabul terlalu cepat, belum juga setengah perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Aku bisa saja menerobosnya jika aku tak memikirkan Lintang yang bakal kedinginan di jok belakang.

     Aku menepikan motor di sebuah minimarket yang masih buka.

     "Lapar?" Tanyaku pada Lintang. Ia menggeleng. Tapi gelengan itu kebohongan semata, sebab hanya sepersekian detik kemudian, aku mendengar perutnya berbunyi. Refleks ia menatapku dengan harapan aku tak mendengarnya, sialnya aku sudah tak kuasa menahan tawa melihat ekspresinya.

     Aku membeli dua mangkok mie instan seduh serta dua kopi panas untuk menghangatkan tubuh.

     "Kamu batal ke Rinjani karena aku?" Tanya Lintang di sela-sela kami menyantap mie instan. Aku berhenti, seingat ku aku tidak pernah menceritakan ini pada Lintang.

     "Hah? Kata siapa?" Tanyaku pura-pura.

     "Istri bang Joy. Dia cerita kau batal ke Rinjani karena ada teman yang akan ditemani keliling Sulut. Itu aku?" Lintang menatapku menuntut jawaban.

     Aku hanya mengangguk lalu melanjutkan makanku.

     "Astaga, maaf aku jadi merasa bersalah." Katanya menyesal.

     "Nggak masalah, Lin. Masih ada cuti kedepannya. Bisa ku atur."

     "Tetap saja, aku penyebab kau batal kesana kan?"

     "Nggak, itu semua keputusanku kok, nggak ada paksaan dari siapapun." 

     Lintang diam, ia mengedarkan pandangan jauh ke jalan raya yang remang dan basah.

Hening,

     "Semar, aku ikut naik gunung besok boleh nggak?" Tanyanya kemudian.

     "Bukannya besok kau harus pulang?" Tanyaku heran.

     "Itu bisa ku atur." Katanya singkat.

     Siluet gunung Klabat berselimut awan tipis disertai hujan kecil tampak megah dari kejauhan. Aku memandangnya lekat-lekat sembari menunggu Lintang bersiap-siap. Tak lama kemudian dia keluar dengan tas dan jaket yang ia pakai saat pertama kali aku melihatnya di kedai kopi.

     Ia ikut berdiri di sampingku memandangi puncak gunung Klabat. Hening sesaat, tiba-tiba ia bertingkah konyol, satu tangannya terkepal diacungkan ke atas, sementara satu lainnya diluruskan di depan dada, persis seperti Ultraman yang bersiap terbang sambil berteriak,

     "Kita akan mendaki gununggg!!!"

     Aku yang kaget dengan tingkahnya terdiam sesaat. Ia berhenti dan melihatku yang berusaha menahan tawa.

     "Maaf, aku terlalu bersemangat." Katanya samar-samar

     "Ayooo!!!" Kita mendaki gunungggg!!!" Teriakku sambil memperagakan gerakannya tadi. Gantian dia yang menatapku heran, lalu terdengarlah pecah tawa di halaman kontrakan ku.

     Kami memulai pendakian tepat jam delapan pagi.

     "Aman?" Tanyaku sesekali di jalur pendakian yang disambut dengan anggukan. Lintang sesekali berdiam menopang tubuhnya dengan treking pole untuk mengatur nafas dan minum atau sekadar membetulkan letak jas hujannya.

     "Minum secukupnya, jangan langsung banyak biar tidak sakit perut." Aku mengingatkan Lintang saat melihatnya minum tak terkontrol. Ia mengangguk.

     Matahari telah tergelincir ketika kami tiba di pos empat. Rintik hujan masih setia menemani langkah kaki kami.

     "Semar?" Lintang memecah keheningan. "Jangan bilang namamu diambil dari tumbuhan nepenthes?" 

     Lintang menatapku penuh lidik sambil menunjuk kantong semar di semak-semak.

     "Kau tahu nama latinnya?" Aku balik bertanya. Aku tak meremehkan, tapi menghafal nama ilmiah spesies selain orang Biologi dan jurusan berkaitan di era pendidikan yang serba fakultatif ini menurutku hal yang tidak lazim. 

     "Harus, aku guru biologi." Kata Lintang sambil tertawa.

     "Serius?" Aku mengernyitkan dahi. Lintang menjelaskan, dia adalah guru Biologi di sebuah yayasan pendidikan, ia mengajar di kelas SD hingga SMA, sebuah hal yang mengharuskannya berwawasan banyak soal ilmu Biologi, termasuk nama-nama tumbuhan.

     Perbincangan kami sepanjang trek selanjutnya berkutat seputar hal yang dianggap Lintang bisa digunakan sebagai bahan ajar.

     "Macaca," Lintang menunjuk monyet hitam yang bergelantungan dari ranting ke ranting lainnya.

     "Macaca nigra, spesies monyet yang hanya ditemukan di Sulawesi Utara." Aku menambahkan.

     "Kenapa di pulau Sulawesi banyak fauna endemik?" Lintang bertanya padaku, kira-kira ketika kami mendekati pos lima.

     Aku merasa tertantang, meski ku tahu ini hanya pertanyaan yang Lintang sudah tahu jawabannya.

     "Karena pulau sulawesi bukan pecahan dari benua Pangea" Aku menghisap rokok.

     "Terus?" Desak Lintang

     "Pulau sulawesi adalah hasil pertemuan dua lempeng besar yang sekarang dikenal sebagai lempeng Australia dan Asia. Pertemuan itu menghasilkan tekanan besar di dasar laut yang mendorong meterial ke atas hingga muncullah Pulau Sulawesi di permukaan. Secara teknis, ia adalah gabungan lempeng Asia dan Australia. Pulau ini terisolir, tidak pernah menyatu secara utuh dengan pulau lain sehingga kecil kemungkinan menjadi destinasi migrasi fauna, kecuali spesies tertentu yang memiliki insting navigasi dan kemampuan migrasi yang jauh"

     "Bukti?"

     "Pulau Sulawesi merupakan salah satu daerah dengan spesies endemik terbanyak di Indonesia. Pulau ini juga masuk dalam jalur Ring of Fire, itu sebabnya banyak gunung api aktif. Itu contohnya." Kataku menunjuk Gunung Lokon yang tampak sekilas dari kejauhan.

     "Karst di Rammang-Rammang Sulawesi Selatan merupakan karst terbesar kedua di dunia. Menurut beberapa penelitian, itu adalah karang di dasar lautan yang terdorong naik ke permukaan karena tekanan lempeng dari dua sisi berlawanan. Di beberapa bagian tertingginya terdapat pasir yang berdasarkan penelitian itu adalah jenis pasir yang berasal dari dasar laut, artinya titik tertinggi Rammang-Rammang pernah berada di dasar laut." jawabku sebisanya.

      Hujan mereda meski belum sepenuhnya berhenti,

     "Bisa saja itu sisa pasir yang dibawa oleh air pada masa banjir besar nabi Nuh dan nyangkut di puncaknya." sanggah Lintang bercanda.

     "Aku harap kau tidak pernah memberikan jawaban kosong seperti itu pada anak didik mu." Kataku balas bercanda.

     "Jadi fauna endemik disini murni hasil evolusi." pancing Lintang.

     "Ya, sejauh ini belum ada argumen yang lebih ilmiah daripada itu." Kataku dengan nafas memburu sambil meletakkan tas carier di peristirahatan pos lima.

     Di pos lima kami istrahat, memasak dan makan siang sekaligus mengisi ulang botol air yang hampir kosong.

     "Untung kita ketemu sumber air sebelum kehabisan." Kata Lintang menuang tegukan terakhir dari botol yang ia bawa.

     "Bukan untung, memang harus tahu dimana letak sumber air saat mendaki gunung. Itu sangat membantu dalam efisiensi jumlah air yang dibawa dari rumah agar mengurangi beban. Namanya manajemen air."

     Meninggalkan pos lima, tidak ada bonus (istilah untuk jalur landai) sama sekali. Guyuran hujan membuat jalan yang terjal semakin sulit dijajaki. Lintang lebih banyak diam dan sering berhenti, menatap jalur mendaki yang seakan tidak ada ujungnya.

     "Istrahat kalau capek, jangan dipaksa, puncak gunung tak akan lari kok." Aku mencoba menumbuhkan semangatnya sebisa mungkin.

     Kuakui, jalur antara pos lima dan pos enam ini memang terjal dan menyiksa. Jalan licin dan berlobang hanya ditopang oleh akar-akar pohon sangatlah sulit dijajaki, salah sedikit bisa terpeleset dan cidera. Aku sudah dihantam terjalnya Jalur Latimojong, Bawakaraeng, dan Lompobattang, tanjakan ini bukanlah hal yang harus ku keluhkan.

     "Aman?" Tanyaku. Lintang mengangkat jempol. "Jangan sering menatap jalur ke atas" kataku lagi.

     "Kenapa?"

     "Biar tidak capek. Meskipun tidak mengubah jarak. Itu berpengaruh secara psikologis. Menatap jalur, bisa membuat mata bosan dan lelah."

     "Masuk akal" ia mengangguk.

     Aku memetik buah patikala hutan yang kebetulan aku lihat di pinggir jalur. Ku kupas dan kuberikan pada Lintang untuk dimakan.

     "Asam." Keningnya mengkerut.

     "Itu bisa memberikan stimulus pada kelenjar ludah untuk mengurangi rasa haus, tapi jangan kebanyakan, bisa malah kehausan."

     Kami tiba di pos enam, pos camp disambut hujan yang makin deras. Hujan deras semalam rupanya belum cukup. Aku mendirikan tenda secepat yang aku bisa, Lintang ku minta berteduh dibawah pohon meski itu tak cukup membantu, derasnya hujan mengalir bak air pancuran mengikuti dahan pohon. Begitu tenda selesai aku mempersilahkan Lintang menghangatkan badan sembari aku memasang flysheet dan membuat parit kecil di sekitaran tenda agar tidak kebanjiran.

     Tenda beres, aku memasak air hangat untuk Lintang, ia sudah tidak tahan keluar dari dalam sleeping bag. Ku minta ia memperlihatkan kuku tangan dan bibirnya, tidak pucat. Syukurlah, tidak ada tanda-tanda hipotermia, hanya kedinginan biasa faktor hujan.

    Hujan berhenti tepat pada pukul tujuh malam. Bersamaan dengan itu, seketika kabut seperti tersapu bersih, berganti dengan pemandangan malam yang luar biasa indahnya. Bulan mulai menampakkan diri, cahayanya menembus celah dedaunan menyinari tanah yang basah. Tetesan sisa air hujan masih terdengar sesekali bersamaan dengan suara serangga malam, menghasilkan melodi alam yang tidak bakal ditemukan dalam riuhnya kota. Barangkali inilah jawaban hujan terus menerus sejak tadi malam dan sepanjang hari ini.

    Ku gelar matras dan ku panggil Lintang keluar tenda.

     "Aku yang masak nasi." Tawar Lintang.

     "Bisa?" Tanyaku. Lintang hanya mengangguk mengiyakan. 

     Aku mengeluarkan logistik, beras, lauk dan beberapa bumbu dapur. Sembari Lintang mencuci beras, aku mencari paku-pakuan di dekat sumber air yang tak jauh dari tenda. Musim hujan seperti ini, tumbuhan paku melimpah ruah. Tidak perlu membawa sayur dari rumah.

"Tambah airnya." Kataku ketika melihat Lintang mengukur air dengan ruas jarinya.

"Ini sudah pas, nanti jadi bubur" bantahnya.

"Kita bukan di kota. Di gunung teknik masaknya berbeda." 

"Emang iya?" Matanya tampa membesar keheranan.

"Nanti saat mendidih, gelembungnya sudah naik. Aduk secukupnya, buka tutup agar air mendidih tidak luber keluar dari panci. Tutup kembali saat airnya tidak cukup untuk luber keluar."

"Bukannya memang harus begitu, biar cepat habis airnya?"

"Itu mengubah takaran air, biarkan air habis karena menguap. Kalau habis karena luber dari panci, hasilnya jelek. Mentah di atas, jadi bubur di tengah, hangus di bagian bawah."

"Hmmm ilmu baru. Barangkali ini berguna jika ku sampaikan ke siswa ku, siapa tahu ada yang mau jadi peneliti di alam lepas."

Lima belas menit kemudian, nasi pulen nan harum tercium dari dalam nesting.

"Iya yah. Sejujurnya tadi aku tidak yakin, dalam hati aku yakin ini akan jadi bubur." ia tertawa.

Nasi, lauk, tumis paku dan sup sudah terhidang. Sajian istimewa dari alam raya, begitu aku menyebutnya.

Selesai makan malam, berganti pakaian dan beres-beres, ku gelar matras di samping tenda. Ini momen yang paling aku tunggu. Duduk di samping tenda, menikmati rokok dan kopi tubruk hitam dengan sedikit gula, mendengarkan suara serangga hutan dan gesekan ranting pohon yang memecah keheningan malam, sembari memandangi lampu kota dari kejauhan, sesekali melihat indahnya bintang malam jika seberuntung malam ini.

Langit cerah terbentang bak kanvas hitam kebiruan dengan bintang-bintang tersebar seperti bercak putih. Bulan penuh bagai bola raksasa berjalan pelan menuju batas cakrawala. Dalam momen itu, ku lihat segaris cahaya kuning membelah angkasa. Bintang jatuh membelah langit Manado.

"Lintang kemukus" gumamku penuh takjub.

"Ya?" Tak ku sangka Lintang menyahut dari dalam tenda. Ia belum tidur rupanya.

Ia keluar dengan jaket tebal, lengkap dengan kaos tangan dan kaos kaki berlapis-lapis. Ia duduk di atas matras disebelah ku.

"Kenapa memanggil ku?" Ia bertanya.

"Nggak, aku melihat bintang jatuh." Aku menunjuk ke langit.

"Ayo berdoa, katanya semua permintaan akan dikabulkan jika bersamaan dengan bintang jatuh" katanya polos.

"Musyrik. Kau percaya?" Tanyaku 

"Musyrik jika kau meminta pada bintang jatuhnya, bukan pada tuhan. Bukankah berdoa boleh kapanpun? Kenapa tidak menjadikan bintang jatuh yang indah itu sebagai momen untuk berdoa pada Tuhan? Siapa tahu dengan melihat indahnya bintang jatuh membuat hati tenang dan bisa meminta dengan tulus? Catat ya, meminta pada tuhan, bukan pada bintang jatuh." Ia berkelakar, masuk di akal ku.

Ku angkat kedua tanganku berdoa. Lintang melakukan hal yang sama. Suasana hening beberapa waktu. 

"Doamu panjang sekali woy." Ia menyikut tanganku.

"Aamiin" aku menutup doa. "Ganggu aja" kataku.

"Panjang dan khusyuk begitu, padahal tadi katanya musyrik." Ia mengolok ku. 

Aku terkekeh.

"Semar, kau belum menjawab pertanyaanku tadi siang "

"Yang mana?"

"Namamu diambil dari nama kantong Semar?"

"Kata bapakku begitu"

"Kenapa bisa?"

Aku mengingat-ingat, mencoba menggali makna percakapan ku dengan bapak bertahun-tahun lalu.

"Kami tinggal di pegunungan, aku lahir dan tumbuh disana. Kantong Semar, meskipun tidak banyak, bapak sering menjumpainya. Bapak meminjamkan nama itu untukku karena suka filosofinya. Unik dan langka, tapi bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrim di pegunungan. Ia diam tapi sangat peka dengan keadaan sekitar yang membuatnya bisa menangkap serangga-serangga liar. Kurang lebih seperti itu."

"Kenapa Hitam? Kenapa bukan hijau, merah, ungu atau pink?" Pertanyaan Lintang terdengar konyol tapi dalam.

"Hitam adalah lambang misteri dan ketidakpastian. Manusia dituntut untuk memecahkan misteri dalam hidupnya, peristiwa, pengalaman, masalah, termasuk masa depan. Hitam dalam namaku agar aku selalu ingat bahwa ada banyak hal yang harus aku lakukan."

Lintang manggut-manggut.

"Satu lagi, ini agak seksi tapi bagian ini yang paling aku sukai dari semua argumen bapakku. Kalau diperhatikan, kantong semar sekilas tampak seperti kelamin pada laki-laki. Itu adalah simbol bahwa aku terlahir sebagai laki-laki, aku punya tanggung jawab dan tidak boleh jadi pengecut, aku tak boleh melupakan itu."

"Kamu suka nama itu beserta artinya?" Lintang menyela.

"Biasa saja..." Aku membakar rokok entah yang keberapa,"...Aku justru suka nama itu ketika aku mengetahui tokoh Semar dalam epos Mahabharata."

"Mahabharata?" Lintang penasaran.

"Ya. Dalam kisah panjang itu, diceritakan Semar adalah guru sekaligus penasehat anak-anak raja dan para kesatria. Meskipun secara fisik ia tidak menarik, badan gemuk, pendek, wajah bulat dan mata berair. Tapi dibalik itu semua, Semar adalah manusia bijaksana, arif, idealis, rendah hati, tenang, sabar, pengasih, lembut, cerdas, jujur, sederhana dan masih banyak lagi. Sifat-sifat yang melekat pada dirinya itu adalah simbolisasi sempurna soal kebajikan dalam kehidupan yang menjaga keseimbangan sosial dan moral. Sifatnya yang luhur membuat orang-orang di sekitar menaruh respek padanya."

Lintang menyimak dengan serius, matanya seakan mengikuti gerakan bibirku, ia menyibak rambut di telinganya, seakan tak ingin ada kata dariku yang luput, barangkali maksud tanda yang lain, aku tak menangkapnya.

Ia masih diam mencerna dalam posisi yang sama, hanya gerak bola matanya yang berputar seakan menangkap makna, bahkan beberapa saat setelah aku berhenti bercerita.

"Woy serius amat" aku melambaikan tangan di depan wajahnya.

Ia menarik nafas panjang 

"Hhaaaahhhhh, sedalam itu ya ternyata. Bapakmu keren." Kepalanya mengangguk-angguk kecil. Ku alihkan pandanganku menatap langit. Ku lihat bintang-bintang yang ceria menatap kami dibalik daun-daun pohon. Bintang itu mengingatkan ku pada lintang kemukus yang sudah berlalu.

"Namamu? Lintang Kemukus, punya makna sendiri?"

Lintang menggeleng pelan,

"Konon bapakku memohon dikaruniai anak ketika ia melihat bintang jatuh. Akulah yang lahir dari doa itu, dinamakan lah aku Lintang Kemukus. Selebihnya aku tidak pernah menanyakan lebih jauh soal arti namaku itu. Aku menyesal tak tahun arti namaku, itupun kalau ada artinya."

Lintang diam, ku tangkap semacam aura sedih dari wajahnya. Aku berusaha menenangkan.

"Lin, apalah arti sebuah nama jika manusianya sendiri tidak berusaha menjadi apa-apa? Bukan kita yang melekat pada nama, tapi nama yang melekat pada kita. Sebongkah emas akan tetap emas meski dinamai batu, begitu juga sebaliknya. Kau tidak harus tahu arti Lintang Kemukus pada namamu untuk bisa menjadi seindah bintang jatuh bukan?"

"Terserah bapakmu mengartikan apa Lintang Kemukus itu, yang penting adalah kau melakukan sesuatu yang bermakna, hingga akhirnya nanti Lintang Kemukus bukan hanya berarti bintang jatuh, ada makna lain yang tercipta karena Lintang Kemukus melekat pada dirimu."

"Kartini awalnya hanya sebuah nama yang disematkan pada seorang perempuan biasa di Pulau Jawa, tapi diri perempuan itu melakukan sesuatu yang berarti, nama Kartini kini berubah makna. Apa yang terlintas dalam pikiranmu ketika mendengar nama Kartini?"

"Semangat untuk memperjuangkan hak-hak dan kedudukan perempuan" jawab Lintang 

"Itu poinnya. Bukan kita sebagai pribadi yang melekat pada nama. Tapi nama yang melekat pada diri pribadi kita. Aku yakin, Lintang Kemukus bisa saja berubah arti menjadi guru yang mencerdaskan kehidupan bangsa di masa depan. Tidak menutup kemungkinan kan?"

Lintang tersenyum.

Malam sudah hampir seperdua, langit tetap bersih, bulan sudah jauh di ufuk timur. Aku memilih tidur di luar tenda beralaskan matras. Apa yang lebih indah dari tidur telentang di atas gunung sambil memandangi taburan bintang di angkasa? 

Kira-kira pukul tiga malam, Lintang membangunkan aku, meminta ku pindah ke dalam tenda, hujan turun lagi. Sebelum masuk aku memeriksa ulang sekitaran tenda, memastikan parit yang ku buat tadi berfungsi dengan baik.

***

"Lin, mau summit?" Aku membangunkan Lintang.

Sambil menunggu Lintang bersiap-siap, aku membersihkan sekitaran tenda, besak makanan kami semalam diacak-acak musang hutan, untungnya ia hanya memakan nasi sisa.

Pukul lima pas, kami menuju puncak. Hanya sekita dua puluh menit untuk  sampai ke atas.

Di atas puncak, bentangan kota Manado terlihat jelas, Manado Tua di tengah laut, gunung Lokon dan Soputan tak luput dari pandangan. Beberapa saat kemudian, warna merah keemasan mulai tampak dari balik lengkungan bumi. Lintang menyiapkan kameranya untuk mengabadikan momen syahdu itu.

"Ini pertama kali aku melihat sunrise dari atas puncak gunung."

Aku menawarkan diri untuk memotretnya. Beberapa spot, tugu triangulasi, tebing, hutan alang-alang, taman puncak dengan latar belakang kota Manado, laut utara Sulawesi, gunung Lokon, Soputan, dan Dua Saudara. Yang paling menakjubkan adalah bayangan gunung Klabat menjadi segitiga sempurna tercetak di atas Kota Manado

Beres dari puncak, Aku dan Lintang ke danau Klabat. Danau ini terbentuk di atas kaldera bekas mulut gunung berapi.

"Seandainya rambutmu putih, foto ini tidak akan beda jauh dengan Galadriel saat akan berlayar ke pulau abadi Valinor." Kataku memuji hasil potretan ku dan menunjukkannya pada Lintang.

"Berlebihan." Lintang menyanggah, tapi aku melihat guratan senyum yang berbeda di wajahnya saat aku mengatakan itu.

Dalam foto itu, Lintang membelakangi kamera, berdiri di atas sebuah kayu mati yang jatuh menjorok ke danau, rambutnya yang hitam lebat tertiup angin dengan latar belakang pantulan puncak gunung Klabat di permukaan danau, sementara di ujung danau seberang sana terbentang pepohonan dengan kesan fantasi.

Vegetasi yang rapat didominasi tumbuhan hutan tropis, diselimuti lumut tebal menambah aura magis yang membuatku berkhayal sedang berada dalam dunia fantasi The Hobbit.

Kami kembali ke tenda, saat panas matahari mulai terasa menyengat. Memanggang roti dan membuat minuman hangat untuk sarapan, memasak untuk persiapan makan siang di jalan turun nantinya. Membongkar tenda dan mengemasi barang. Tak lupa sampah-sampah kami masukkan kedalam kantong untuk dibawa turun.

Jalan turun tidak terlalu menyusahkan, panas matahari cukup membantu mengeringkan jalan. Lintang bisa dengan cepat memahami teknik berjalan turun. Kami hanya singgah istrahat beberapa kali untuk minum atau makan siang. Sesekali Lintang berhenti memotret keindahan jalur Klabat yang tidak tampak saat hujan turun.

Kami menempuh jalan turun kurang lebih empat jam. Kami langsung menuju tempat Bang Joy, barulah aku mengantar Lintang menuju penginapan.

"Begitu banyak gunung di tempatku, tak kusangka sedikitpun aku akan melakukan pendakian pertamaku di Manado." Kata Lintang.

***

Minggu pagi, Kota Manado kembali selimuti awan hitam. Aku mengantar Lintang ke bandara.

"Aku penasaran dengan doamu di gunung saat bintang jatuh." Kata Lintang saat kami di bandara.

Aku diam sejenak, menatap langit Manado yang terlihat muram.

"Aku memohon pada tuhan seandainya dia menciptakan lintang kemukus yang kehadirannya tidak hanya dalam waktu singkat. Aku ingin melihatnya dalam waktu yang lama."

"Lintang Kemukus yang kau maksud dalam doamu itu, bintang jatuh atau Aku?"  Tanya Lintang.

"Kau tahu jawabannya bukan?" 

Lintang mengangguk, menangkap isyarat dalam kata-kataku. Ia menunduk berusaha menyembunyikan sebuah senyum yang terbit di wajahnya. Suasana menjadi  canggung.

"Kalau doamu?" Aku bertanya, berusaha mencairkan suasana.

"Aku tidak berdoa..." Jawab Lintang, "Aku hanya memanjatkan syukur. Bersyukur atas kedatanganku kesini, batalnya temanku datang dan mendaki gunung yang sama sekali diluar rencanaku rupanya menjadi skenario terbaik tuhan untuk mempertemukan aku dengan semar yang selama ini hanya berwujud tumbuhan hutan dalam kepalaku, dihadirkan dalam wujud yang lain."

Kami kembali diam. Aku berusaha menangkap dan menafsirkan isyarat terburuk dari kata-kata Lintang. Yang ku dapati hanyalah isyarat terbaik, isyarat yang aku harapkan. Semoga aku tidak salah tafsir.

"Perjalanan yang mengesankan. Terima kasih ya" Katanya lagi.

Ia melihat jam tangannya, pamit lalu berjalan masuk ke bandara. Tiba-tiba ia berbalik badan,

"cuti selanjutnya, ajak aku ke Rinjani." Katanya tersenyum dengan bola mata hitamnya yang berbinar. Aku mengangguk, tak bisa lagi ku sembunyikan senyum di wajahku. Ia melambaikan tangan lalu menghilang di balik pintu keberangkatan.

Di bandara Sam Ratulangi, Lintang Kemukus terbang bersama pesawat yang membawanya menghilang dibalik awan musim hujan, melesat jauh meninggalkan Manado yang diselimuti udara basah. Ku tatap pesawat itu sampai benar-benar hilang dari pandanganku.

Aku teringat janjiku pada Dewi Anjani saat aku ke Rinjani beberapa tahun yang lalu.

"Suatu hari nanti, akan ku bawakan seorang yang cantiknya tak kalah denganmu"

***

Pertengahan bulan bulan April. Di atas puncak Rinjani,

"Telah ku tunaikan janjiku padamu, Dewi Anjani." Kataku sambil menggenggam jari-jari tangan Lintang. Bersama , aku dan Lintang menatap indahnya kaldera danau Sagara Anak dari atas puncak gunung tercantik itu.


Goodspeed,

14 Februari 2025

  • Share:

You Might Also Like

2 comments

  1. Sukit dipercaya cerita romantis ini ditulis oleh orang jomblo bung haha

    BalasHapus
  2. Menulis kan hanya butuh pikiran dan alat tulis bung, bukan status hubungan. Haha

    BalasHapus