Bapak dan Pelajaran Dari Seekor Monyet Tua

By Ahmad Alfarid - Agustus 25, 2024

(Bapak yang selalu merasa seganteng Rano Karno)

Bapak Sakit
    Aku tidak tahu kalimat apa yang lebih pantas untuk memulai tulisan ini selain kalimat "Bapakku adalah laki-laki terbaik yang pernah ku kenal".
    Sayangnya, aku harus menulis ini ketika ku dapati kabar bahwa laki-laki terhebat itu sedang terbaring diatas ranjang rumah sakit bersamaan ketika aku sedang dalam perjalanan meninggalka kampung halaman menuju tanah rantau.
     Untungnya, kabar itulah yang membuat aku kembali mengumpulkan puing-puing ingatan, lebih tepatnya aku menyebutnya pembelajaran yang dia tanamkan padaku, mengajarkan ketegaran dan kekuatan sehingga aku memikirkan dia tanpa setetespun air mataku terjatuh, tapi hatiku tercabik-cabik. Biar ku kutip kata-kata Rusdy Mathari "Laki-laki tidak menangis, tapi hatinya berdarah".

Seekor Monyet Tua
     Masa kecilku ku habiskan di sebuah kebun jagung di dalam hutan. Kebun jagung yang menjadi sumber nafkah kami sekaligus menjadi sasaran empuk babi hutan dan tikus ketika malam hari, gerobolan monyet waktu siang hari membuat bapakku harus siaga, tak kenal waktu.
    Tak peduli siang, malam, subuh dan pagi. Hujan, terik matahari atau badai angin sebab kebun kami di atas bukit, bapakku akan tetap berkeliling memantau kebun untuk memastikan tanaman jagung kami tetap aman agar kami bisa makan dan bisa terus melanjutkan hidup.
   Sepanjang musim jagung itulah, seekor monyet tua senantiasa bertengger di atas sebuah pohon mati, tanpa daun, hanya ada batang dan dahan kering. Ia bertengger sepanjang hari menunggu kami lengah menjaga kebun. Aku bingung kenapa bapakku tidak mengusirnya.
   Bapakku kemudian bercerita, monyet seperti itu duluya adalah pemimpin di dalam kawanannya. Sayangnya, entah faktor usia atau hal lainnya, ia akan digantikan oleh individu lain yang lebih kuat di dalam kawanannya itu. Karena kekalahan itulah, ia diasingkan atau memilih untuk mengasingkan diri demi menjaga harga dirinya, ia memilih untuk mati dalam kesendirian daripada harus kembali ke dalam kawananya.
   Monyet yang mengasingkan diri seperti itu jauh lebih berbahaya daripada monyet-monyet yang bergerombol. Sebab, setelah digantikan posisinya, ia kemungkinan akan melampiaskan amarah dan dendamnya pada apapun yang ditemuinya, termasuk manusia barangkali. Hal lain, sebab sebagai individu yang hidup sendiri, ia akan lebih waspada pada lingkungan sekitarnya sebagai bentuk antispiasi bahaya dan pertahanan diri.
    Dalam usia belum masuk sekolah dasar, aku hanya berpikir bapakku menceritakan hal itu karena agar aku tak mengusik monyet itu.
   Di atas bis yang sedang melaju ini, aku mulai menerka, barangkali cerita bapakku tentang monyet itu bukanlah kebetulan belaka. Mungkin saja ia ingin aku mengerti satu hal, begitulah hidup bekerja. Aku menyadari betapa bapakku ingin menjadikan aku sebagai seorang yang kuat dan tahan banting menjalani hidup.
    Seorang manusia, pasti dan akan terjadi suatu ketika dimana kita tak punya pilihan selain tetap berdiri kokoh di atas kaki dan tanggung jawab kita untuk diri sendiri.
    Manusia, sebagai suatu individu, tidak selamanya akan berada dalam lingkaran orang-orang yang disenangi, atau paling tidak kita tidak akan selamanya berada di sisi orang-otan yang diandalkan, meninggalakn rumah dan keluarga adalah keniscayaan, suata saat kita akan diasingkan atau memilih mengasingkan diri dari keramaian yang kita harapakan. Saat itulah, tempat yang paling memungkinkan untuk melabuhkan harapan adalah kaki dan pundak sendiri.
    Cerita bapak tentang monyet itu kini dapat ku terjemahkan dalam berbagai perspektif dan tafsir. Aku bisa saja memaknainya sebagai sebuah kegagalan, ketamakan, dan kekalahan dalam hidup. Tetapi aku memilih memaknainya sebagai refleksi dalam perjalanan hidup yang separuhnya telah ku habiskan di luar rumah. Sendiri dan jauh dari orang-orang yang aku sayangi-Keluarga.
    Kini, aku tak perlu bertanya lagi, mengapa bapakku tak sekalipun mempertanyakan keputusan ku bahkan sangat mendukung ketika aku memilih untuk meningalkan rumah agar bisa tetap menjutkan sekolah saat masih berusia 12 tahun. Usia dimana aku masih sangat membutuhkan pelukan ibu.
    Ia memarahiku ketika aku menangis atau hanya sekadar mengeluh ketika mendapat kesulitan. Kerinduan yang biasa kuungkapkan lewat surat akan dibalas dengan kata-kata yang alih-alih menenangkan, justru sepeti pukulan bertubi-tubi yang datang menghantam.
   Sikapnya yang tidak pernah mempermasalahkan keputusanku kumaknai sebagai didikan mental dan kepercayaan diri dalam menentukan sikap. Aku diperbolehkan memilih jalan hidup yang aku inginkan. Hanya satu yang ia minta, aku harus bertanggung jawab pada pilihan yang telah kuputuskan.
   Berkat sikap-sikap bijaksana dan didikannya yang baru ku sadari sekarang, aku berkata pada diriku bahwa aku terlalu kuat untuk menyerah pada dunia.

    "Orang-orang syang dididik oleh hidup dan alam, tidak punya waktu untuk meratapi masalah" Bapak.

Ahmad Alfarid
Di atas bis menuju Manado, 24 April 2024.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments