![]() |
Dokumentasi pribadi: loc. Pos 7 Bawakaraeng |
Ritta Rubby Hartland seakan menampar kita melalui lirik dalam lagu Kepada Alam dan Pecintanya. Lirik tajam nan puitis itu tak mesti membutuhkan pemahaman retorika dan pikiran kritis untuk mengerti maknanya.
Pendaki gunung sahabat alam sejati
Jaket mu penuh lambang
Lambang kegagahan
Memproklamirkan dirimu pencinta alam
Sementara maknanya belum kau miliki
Ketika aku daki dari gunung ke gunung
Di sana kutemui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kesakitan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam
Batu-batu cadas merintih kesakitan
Ditikam belatimu yang tak pernah ayal
Hanya untuk mengumumkan pada khalayak
Bahwa di sana ada kibar benderamu
Oh alam… korban keakuan
Oh alam.. korban keangkuhan
Maafkan mereka yang tak mau mengerti
Arti kehidupan…
Gunung
Sangat tidak etis untuk melihat gunung hanya sebagai gundukan tanah bebatuan hasil proses geologi. Gunung adalah sebuah entitas yang berjiwa, memiliki kesadaran dan perasaan seperti mahluk hidup lainnya. Yang pasti, gunung tidak hanya sekadar diciptakan oleh tuhan tanpa ada tujuan, ia mengemban amanah dari penciptanya, menjaga stabilitas dan keseimbangan bumi dalam makna harfiah maupun filosofi.
Gunung menjadi habitat bagi berbagai mahluk hidup. Pohon, burung, serangga, bakteri dan berbagai organisme lainnya yang dalam perannya masing-masing demi keseimbangan ekosistem dunia,dan alam semesta.
Filosofi Gunung
Gunung adalah hasil sempurna dari proses geologis yang bahkan masih terus berlangsung hingga kini. Dalam pandangan filosofis, ia mengajarkkan tentang keteguhan, komitmen, proses, kesabaran dan kesempurnaan.
Makna inilah yang konon katanya ingin diresapi dan dirasakan oleh para pendaki gunung. Bisa jadi iya, tapi kebanyakan hanyalah omong kosong.
Saya tidak tahu pasti kapan dan siapa tepatnya yang pertama kali melakukan pendakian gunung dalam konteks bukan untuk berburu dan mencari makanan di masa lampau. Namun, konon katanya, pendakian gunung awalnya dilakukan oleh para filsuf berabad-abad yang lalu. Pendakian mereka bertujuan untuk menemukan tempat yang tenang, hening dan nyaman untuk memfokuskan pikiran mereka terhadap suatu ide ataupun fenomena yang mereka pikirkan. kegiatan ini mereka namakan sebagai wisata literasi, dimana di gunung itulah mereka berbicara dan bertengkar dengan pikiran mereka.
Pecinta Alam dan Pendaki Gunung
Mungkinkah di masa kini kita menemukan pendaki gunung seperti apa yang dilakukan oleh para filsuf tadi? Adakan pendaki gunung yang membawa buku dengan tujuan agar fokus menyelesaikan bacaan dan memahami makna yang ingin disampaikan sang penulis? Bisa jadi, meskipun rasanya mustahil. Selain karena jika ada pendaki gunung yang melakukan hal seperti itu, ia tidak akan menarik perhatian, juga karena kita akan lebih tertarik pendaki yang tas carier dan sepatunya lebih mahal, keren dan bermerek.
Di masa kini, sangat mudah untuk menemukan komunitas yang melabeli komunitas mereka dengan embel-embel pecinta alam. Namun dalam prakteknya sangat bertolak belakang dengan namanya. tida jarang kita melihat orang-orang yang melabeli diri mereka dengan pecinta alam inilah yang justru menjadi penyumbang sampah terbesar di gunung.
Pecinta alam yang sesungguhnya tidak akan rela meninggalkan jejak apapun di gunung. Mereka sangat mematuhi motto para penjelajah "Jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan membunuh apapun kecuali waktu". Motto ini konon dikemukakan oleh Chief Seattle, seorang penjelajah goa dari Amerika Serikat sekitar abad ke 19. Dalam prosesnya motto itu kemudian berkembang terus menerus dari generasi ke generasi dan menjadi pegangan bagi para penjelajah alam liar, termasuk bagi para pendaki. (source: telusuri.id)
Saya pernah mengenal seorang kawan pendaki yang bahkan untuk merokok pun ia tak mau. Jika pergi mendaki, bekal yang berpotensi meninggalkan sampah di gunung akan ditinggalkan, jika bekalnya berkemasan plastik, akan dibuka dan dimasukkan ke dalam toples, ia tak mau luput jika tidak sengaja kemasan itu tertinggal dan menjadi sampah abadi di gunung, termasuk asap rokok dan asapnya. Seorang kawan yang hingga saat ini tidak berhasil dan tampaknya tidak akan pernah bisa saya tiru kebiasaan dan komitmennya.
Di masa kini, pendaki gunung sudah menjadi sebuah trend yang menjalar dan menyeruak ke berbagai penjuru, kalangan dan usia. Hal ini cukup menggembirakan sebab pendakian gunung tidak dianggap lagi sebagai kegiatan yang aneh dan buang-buang waktu. Di sisi lain kita juga akan melihat sebuah fenomena yang justru memilukan. Di gunung sampah terlihat dimana-mana. Sampah di gunung tidak lagi menjadi hal yang asing. Batu dan pohon pohon penuh dengan ukiran dan nama orang maupun kelompoknya, seakan mereka ingin menasbihkan dan memberitahukan pada orang-orang bahwa ia sudah mendaki gunung itu. Mirisnya, pernah tertulis di sebuah berita yang menyebutkan seorang pendaki bule yang tersesat di salah satu gunung Indonesia, uniknya pendaki bule itu bukan diselamatkan oleh tim SAR. Ia berhasil menemukan jalan pulang dengan menelusuri jejak berupa sampah yang berceceran sepanjang jalur pendakian.
Saya pertama kali mendaki gunung pada tahun 2009 ketika saya masuk grup pramuka sekolah saat saya kelas satu SMP. Pada tahun 2016 saya kembali mendatangi gunung yang pertama kali saya daki tujuh tahu silam. Keadaannya sangat berbeda, seperti yang bisa ditebak sampah bertebaran dimana-mana.
Saya seorang yang hobi mendaki gunung, namun saya selalu menampik jika seseorang bertanya apakah saya seorang pecinta alam. Pecinta alam dan pendaki gunung sangatlah berbeda. Mendaki gunung bagi saya adalah sebuah hobi. Seseorang dapat dengan mudah disebut pendaki gunung ketika ia mendaki gunung, sementara pecinta alam adalah sesuatu yang lain, ia tidak bisa diklaim atau disematkan ada seseorang tetapi ditunjukkan dengan sikap. Ia dapat melekat dan hilang dengan sendirinya tergantung sikap dari individu itu sendiri.
Fear Of Missing Out (FOMO)
Mendaki gunung adalah hobi yang semua orang punya hak untuk melakukannya. Terlepas dari esensi orang melakukannya, namun fenomena dimana mendaki gunung bukan hanya sebuah hobi tapi justru menjadi ajang pamer-pameran. Seperti yang saya singgung di awal, orang kebanyakan akan tertarik membicarakan harga dan merek outfit. Hal itu tidaklah salah, namun esensi utama dari outfit sebagai alat keamanan dan keselamatan di gunung justru seakan menjadi list kedua.
Alam selalu menyajikan pesona yang mengagumkan. Perkembangan teknologi dan media sosial tidak menyembunyikan itu. Keindahan alam yang terlihat dari mata lensa mengundang orang-orang yang mudah ter hegemoni untuk mengunjungi tempat itu sebelum pudar masa viral nya. Kebanyakan dari mereka yang berlomba-lomba ke tempat viral inilah adalah mereka yang terkena virus FOMO. Hasilnya bisa dilihat sendiri, dalam waktu singkat tempat itu akan kehilangan kepopulerannya dan hanya menyisakan jejak manusia yang bisa dilihat sepanjang waktu, sampah. Tidak hanya di gunung, tetapi di semua jenis tempat wisata lainnya.
Aturan Ketat?
Beberapa bulan yang lalu, saya mendatangi gunung yang pernah saya datangi beberapa tahun lalu. Saat saya datang pertama kali, aturan basecamp yang dibuat oleh para pengelola cukup ketat. Salah satunya mendata bekal yang berpotensi untuk menghasilkan sampah terutama sampah plastik. List itu nantinya akan dicek ulang setelah turun dari. Sampah yang dibawa pulang akan disesuaikan dengan bekal yang dibawa saat naik. Hal ini bertujuan agar pendaki tidak meninggalkan sampahnya di gunung, para pengelolah sudah menyiapkan tempat sampah di basecamp.
Saat saya datang kedua kalinya, aturan itu sudah dihilangkan. Menurut pengelola, aturan itu banyak diprotes oleh para pendaki, salah satu alasannya karena dianggap menyusahkan para pendaki yang enggan untuk membongkar ulang barang di dalam tas carier nya. Alasan yang membuat saya mengernyitkan dahi, sangat tidak masuk akal.
Akhirnya...
Sudah dulu, nanti di lanjut kalau ada kesempatan. ini adalah opini pribadi, bisa jadi sangat banyak yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca. Apapun itu, jika ada yang baik ambil dan sebarkan, jika ada yang jelek buang saja atau lebih bijaknya kembalikan ke saya biara tidak jadi sampah.
Selamat membaca, Salam Lestari.
Manado, 23 Maret 2024