"Satu-satunya tanda bahwa kita waras adalah kita tahu diri kita gila"
Rintik hujan mulai turun, diiringi lagu Sally Sendiri, di sebua cafe, aku memasuki halaman terakhir buku Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Kata demi kata hasil rangkaian sang penulis berhasil aku tuntaskan sembari menarik nafas lega, atau barangkali sesak membayangkan bagaimana tokoh-tokoh dalam novel ini menjalani kehidupan yang diliputi kehilangan demi kehilangan.
Buku Norwegian Wood adalah buku kedua Haruki Murakami yang aku baca, setelah 1Q84. Aku mengira buku Norwegian Wood akan bercerita tentang fiksi romantis, ternyata isinya jauh lebih dalam dari itu, Norwegian Wood adalah persoalan psikologis dan kesehatan mental serta pencarian jati diri yang dibumbui dengan narasi percintaan ala Haruki Murakami.
Buku ini berpusat pada Toro Watanabe, Naoko dan Midori, atau lebih tepatnya soal kehidupan Toru Watanabe dan hubungannya terhadap kedua perempuan itu. Perjalanan hidup yang diliputi dengan kehilangan orang-orang di sekitanya.
PLOT (Spoiler)
Norwegian Wood disajikan dalam perspektif orang pertama, Toru Watanabe sebagai tokoh sentral, narator yang menceritakan kisah hidupnya.
Cerita bermula ketika Watanabe yang saat itu berusia 37 tahun, berada dalam sebuah pesawat. Secara tidak sengaja ia mendengar lagu Norwegian Wood dari The Beatles. Ingatannya tentang Naoko sekonyong-konyong memenuhi kepalanya. Alasannya jelas, lagu itu adalah lagu kesukaan Naoko. Lantas ia bernostalgia dengan kehidupannya 20 tahun silam.
Pada usia ke 18 tahun, ketika ia baru saja menempuh pendidikan di universitas, ia bertemu kembali dengan Naoko. Naoko adalah kenalannya ketika masih SMA, pacar Kizuki, sahabat baik Watanabe. Tepat sebelum tamat SMA, Kizuki meninggal dunia. Kematian Kizuki juga secara tidak langsung memutus hubungan antara Watanabe dan Naoko, hingga mereka bertemu kembali saat berkuliah.
Dalam pertemuan dan hubungan mereka selanjutnya, Kizuki masih tetap berperan sebagai penghubung antara Watanabe dan Naoko. Cerita-cerita masa lalu tentang kehidupan dan kematian Kizuki kerap menjadi topik dalam perbincangan mereka. Ketika perasan mulai tumbuh di antara mereka, Naoko tiba-tiba menghilang, meninggalkan Watanabe.
Di kemudian hari, ia menerima surat dari Naoko. Dalam suratnya itu, Naoko menjelaskan soal dirinya yang sedang dirawat di sebuah sanatorium. Naoko berkutat dengan kesehatannya mentalnya yang terganggu. (Tidak disebutkan secara eksplisit nama penyakitnya). Kesedihan, keterasingan, ketergantungan pada orang lain, emosi yang tidak stabil adalah sebagian dari permasalahan hidup Naoko.
Dalam kehilangan itu, Watanabe bertemu dengan Midori, teman sekelasnya di salah satu mata kuliah. Mereka menjalin hubungan yang tanpa status yang jelas kecuali pertemanan, meksipun dalam kenyataannya mereka sering menghabiskan waktu bersama, dan melakukan hal-hal diluar batas pertemanan.
Midori muncul ke kehidupan Watanabe sebagai orang yang periang, ceria, imajinatif, terbuka, dan bebas dan cenderung sedikit aneh. Midori bukanlah manusia tanpa masalah, meski begitu, ia memilih untuk mengabaikan dan menjalani hidupnya dengan gayanya sendiri. Sisi ini sangat bertolak belakang dengan Naoko yang pendiam, murung, misterius dan penyendiri.
Kadang-kadang Watanabe mengunjungi Naoko di sanatorium yang terletak di sebuah pengunungan yang cukup jauh dari tempat Toru. Dalam kunjungannya, ia bertemu berkenalan dengan Reiko, teman sekamar Naoko. Reiko adalah guru musik yang juga memiliki masa lalu yang sangat kelam.
Dalam hubungan dengan kedua perempuan itu, Naoko dan Midori, yang keduanya tidak jelas statusnya, Watanabe mengalami kebimbangan untuk memilih. Naoko dan Midori jelas adalah dua kepribadian yang sangat bertolak belakang.
Ketika Watanabe mendapat kabar tentang kematian Naoko yang meninggal bunuh diri. Watanabe sadar, kesedihan atas meninggalnya Naoko tidak bisa terobati dengan kehadiran Midori. Sikap dan kepribadian mereka yang sangat berbeda tentu hanya mengisi sisi yang berbeda pula dalam diri Watanabe. Kepergian Naoko meniggalkan kekosongan yang tentu saja tidak bisa diisi oleh Midori, begitu juga sebaliknya.
Untuk mengobati kesedihan, mungkin juga untuk menikmatinya, Watanabe meninggalkan kuliah dan kerja paruh waktunya untuk berkelana, menghabiskan waktunya sendirian. Ia bertemu dengan orang lain, berpisah dan bertemu lagi dengan orang baru. Semuanya memiliki satu kesamaan, kehilangan orang-orang yang mereka cintai.
Dalam perjalan itu, Watanabe menyadari satu hal, kehilangan, perpisahan dan kematian adalah hal yang niscaya. Naoko dan Kizuki juga termasuk di dalamnya. Kematian orang-orang di sekelilingnya membuat Watanabe merangkum satu kesimpulan, kematian bukanlah lawan dari kehidupan, tetapi sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.
REVIEW (pendapat pribadi)
Novel Norwegian Wood adalah novel dengan tempo yang lambat (mungkin pendapat ini terpengaruh karena aku membaca karya Haruki sesaat setelah menyelesaikan serial Robert Langdon kaya Dan Brown yang bertempo cepat).
Barangkali novel ini cenderung terasa membosankan. Akan tetapi, penggunaan perspektif orang pertama cukup mengatasi itu, memposisikan diri pembaca sebagai Watanabe membuat semua deskripsi, peristiwa, suasana dan perasaan menjadi terasa nyata.
Seperti disinggung di awal, buku Norwegian Wood tidak hanya bercerita tentang fiksi romansa, namun secara halus tapi dalam mengungkap sisi gelap dari emosional. Kesepian, kepedihan, kesendirian, kehilangan, krisis identitas bermuara pada satu problem yang lebih ekstrim, kesehatan mental, bahkan mendekati kegilaan. Satu kutipan yang terngiang dalam kepalaku adalah kalimat dari Reiko "Satu-satunya tanda kita waras adalah kita tahu kita tidak waras".
Titik kekosongan seakan menjadi tali rajut antara tokoh-tokoh dalam buku ini. Kehampaan hidup dan ketidak sesuaian dengan kondisi yang dipandang normal dalam masyarakat umum seakan menjadi dorongan untuk melakukan hal-hal ektrim guna mencari obat penawar atau barangkali, pelarian.
Ada juga tokoh lain dalam novel ini. Kopasgat, teman sekamar Watanabe di asrama. Dia adalah sosok yang disiplin, teratur dan rajin senam. Kepribadiannya yang menjengkelkan di mata Watanabe justru menjadi unsur komedi, satu-satunya hal yang membuat kita tertawa dalam buku ini.
Tokoh lain adalah Nagasawa dan Hatsumi, pacarnya. Nagasawa adalah teman Watanabe yang juga tinggal di asrama yang sama. Nagasawa adalah sosok yang cerdas, bebas dan aneh. Ia mengajarkan pada Toru Watanabe bagaimana caranya tidur dengan perempuan yang tidak di kenal. Ia sendiri mengaku telah meniduri lebih dari 70 perempuan yang tidak ia kenali. Keanehannya adalah, ia pernah makan 3 ekor belut hidup-hidup sebagai tantangan agar teman-teman angkatannya dibebaskan dari perpeloncoan.
Sementara itu Hatsumi, sosok perempuan yang bersahaja, tenang, penyayang dan mendambakan kehidupan keluarga yang bahagia, bertolak belakang dengan Nagasawa yang sejak awal sudah mengikrarkan diri untuk tidak menikah.
Pada akhirnya, aku bingung mau menyebut novel ini dengan ending apa, bahagia atau sedih, barangkali keduanya atau tidak keduanya sama sekali. Yang pasti, semua tokoh dalam novel ini menemukan satu hal yan mereka dambakan sejak awal, kebebasan. Watanabe terbebas dari belenggu kebimbangannya terhadap Naoko, dengan kepergian Naoko, jelas ia tak punya hambatan jika ia ingin bersama Midori, walaupun sampai akhir mereka tidak pernah bersama. Sementara itu Midori, sesuai keinginannya menghilang, memulai kehidupan baru dimana ia tidak dikenali oleh siapapun.
Nagasawa dengan impiannya hidup jauh diluar negeri, menjadi diplomat dan hidup sendiri. Membebaskan Hatsumi untuk menikah sesuai keinginannya. Sementara itu Reiko berhasil melawan rasa takutnya, keluar dari sanatorium dan kembali ke masyarakat setelah berada disana selama tujuh tahun. Dan tentu saja Naoko, yang terbebas dari segala deritanya, ia menuju kebebasan yang sesungguhnya.
Hal lain yang bisa dinikmati dari karya-karya Haruki Murakami adalah kekayaan pengetahuan akan musik dan buku. Dalam setiap karyanya, pembaca selalu disuguhkan dengan referensi musik dan buku.
Sama seperti karya Haruki yang lain. Buku ini juga tidak lepas dari pembahasan tentang hubungan fisik (seksual) yang digambarkan Haruki secara detail, (dalam kasus ini, aku kadang-kadang merasa sedang membaca cerita stensil), tapi justru sinilah yang seakan mengungkap sisi keberanian dan kejujuran dalam berekspresi dari seorang Haruki.